Pendidikan
Sabtu, 28 Januari 2017
Minggu, 30 Oktober 2016
Sampah dan Limbah Penyebab Pencemaran Air di Kabupaten Blitar
Laili Fitri A
Pencemaran air menjadi
permasalahan yang serius di lingkungan masyarakat. Pemicu utama percemaran air
yaitu jumlah penduduk yang semakin meningkat dan kebutuhan yang juga semakin
bertambah. Kabupaten Blitar merupakan salah satu kota yang memiliki
permasalahan pencemaran air. Pencemaran air di kabupaten Blitar semakin hari
kian memburuk disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah
pada tempatnya dan pabrik industri, dalam membuang limbah ke sungai tidak
diolah terlebih dahulu. Pencemaran air dapat disebabkan oleh limbah industri
maupun limbah rumah tangga, dan juga penumpukan sampah yang terus bertambah.
Penyebab
Pencemaran Air di Blitar
Pencemaran air di Kabupaten
Blitar disebabkan oleh masyarakat yang membuang sampah tidak pada tempatnya,
sedangkan industri pabrik tahu membuang limbahnya ke sungai tanpa diolah terlebih
dahulu. Penyebab tindakan tersebut dilakukan yaitu, pertama masyarakat berfikir
bahwa membuang sampah sembarangan bukan hal yang salah, namun wajar dilakukan. Norma dari
lingkungan sekitar seperti keluarga, sekolah, masyarakat, atau bahkan tempat
pekerjaan. Pengaruh lingkungan merupakan suatu faktor besar didalam munculnya
suatu perilaku. Contohnya pengaruh lingkungan dalam membuang sampah
sembarangan, akan menjadi faktor besar dalam munculnya perilaku membuang sampah
sembarangan. Kedua, kurangnya ketersediaan tempat
sampah di berbagai tempat. Masyarakat atau seseorang lebih suka melakukan suatu
tindakan yang mudah dilakukan, apabila banyak tempat sampah seseorang tidak akan
membuang sampah sembarangan. Ketiga, tidak tersedianya tempat pembuangan limbah
khusus, sehingga pabrik industri membuang limbahnya langsung ke sungai.
Keempat, pemerintah tidak menyediakan alat untuk mengolah limbah atau sampah yang
mudah digunakan.
Dilansir dari jatimtimes.com (23 Februari 2016) menurut BLH
kota Blitar jumlah sampah di Kabupaten Blitar terus mengalami peningkatan.
Peningkatan tersebut disebabkan bertambahnya jumlah penduduk di Kabupaten
Blitar dan juga kesejahteraan ekonomi yang mengakibatkan peningkatan volume
sampah dan pola hidup masyarakat menjadi konsumtif. Lima tempat pembuangan
sampah akhir di Kabupaten Blitar keseluruhan mengalami peningkatan diantaranya
di TPA Srengat, Wlingi, Sutojayan, Kesamben dan TPA Nglegok.
Dampak
terhadap lingkungan
Cara berfikir dan
tindakan masyarakat tersebut membawa dampak buruk terhadap lingkungan sekitar. Penumpukan
sampah terjadi dimana-mana, apalagi di TPA sampah setiap harinya yang
dihasilkan melampaui batas. Sampah organik dianggap dapat mengurangi kadar
oksigen ke dalam lingkungan perairan, sampah anorganik juga dapat mengurangi
sinar matahari yang memasuki ke dalam lingkungan perairan, sehingga
mengakibatkan proses esensial dalam ekosistem seperti fotosintesis akan menjadi
terganggu. Sampah organik dan anorganik membuat air menjadi keruh, kondisi
tersebut akan mengurangi organisme yang hidup dalam air sehingga populasi hewan
kecil-kecil akan terganggu. Tempat-tempat penumpukan sampah merupakan
lingkungan yang baik digunakan oleh hewan penyebar penyakit penyakit misalnya
lalat, nyamuk, tikus, dan bakteri patogen (penyebab penyakit). Adanya
hewan-hewan penyebar penyakit tersebut akan mudah tersebar dan menjalar ke
lingkungan sekitar. Penyakit yang dihasilkan misalnya kolera, disentri, tipus,
diare, dan malaria. Akibat sampah dan limbah yang dibuang sembarangan air akan
menjadi tercemar, sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk
kebutuhan sehari-hari seperti mandi, minum, dan mencuci. Hal tersebut,
disebabkan air sudah tercemar oleh berbagai penyakit yang dihasilkan dari
sampah dengan berubahnya warna menjadi keruh dan bau yang tidak sedap. Contohnya
sungai Lahar yang terkena limbah tahu yang dihasilkan masyarakat Pakunden,
Kecamatan Selorejo, Kota Blitar.
Air yang merupakan
kebutuhan primer bagi kehidupan di muka bumi terutama bagi manusia. Oleh karena
itu, apabila air yang akan digunakan mengandung bahan pencemar akan dapat mengganggu
kesehatan manusia, menyebabkan keracunan bahkan sangat berbahaya karena dapat
menyebabkan kematian. Bahan pencemar yang menumpuk dalam jaringan tubuh dapat
meracuni organ tubuh, sehingga organ tubuh tidak bisa berfungsi lagi dan dapat
menyebabkan kesehatan terganggu bahkan dapat sampai mengakibatkan meninggal.
Dilansir dari
Terasjatim.com (9 Januari 2016) warga kelurahan Pakunden kecamatan Sukorejo,
Kota Blitar yang berada di sekitaran bantaran sungai lahar resah, karena sudah
hampir 20 tahun lebih warga menahan nafas akibat limbah berbau tak sedap yang
mengotori sungai Lahar, Pakunden. Limbah tersebut dihasilkan dari pabrik tahu
di Kelurahan Pakunden, Blitar. Akibat limbah tersebut, air sungai menjadi keruh
dan tidak bening lagi. airnya berwarna hijau dan mengeluarkan bau yang tidak
sedap. Hal tersebut, ditambah dengan warga yang membuang sampah sembarangan di
sungai yang berada di tengah-tengah permukiman warga tersebut. Warga yang membuang
sampah ke sungai Lahar tidak hanya warga setempat, namun warga dari daerah lain
juga membuang sampah ke sungai tersebut, sehingga air keruh tersebut menjadi
sarang nyamuk dan lalat yang mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan.
Konsep
Lingkungan Hidup yang ideal
Semua makhluk hidup
membutuhkan suatu zat yaitu air. Tanpa adanya air di dunia maka tidak akan ada
kehidupan di dunia, karena air merupakan sumber kehidupan dan akan sangat
berbahaya jika air mendadak menghilang. Banyak fungsi yang dibutuhkan dari air
yaitu untuk minum, mandi, mencuci, irigasi dan lainnya. Air yang harus
dikonsumsi oleh manusia dan makhluk hidup lainnya juga merupakan air yang
bersih dengan warna jernih dan tidak menimbulkan bau. Namun saat ini, dimana
pertumbuhan penduduk semakin pesat dan juga mulai tumbuhnya sektor
perindustrian yang membuat air banyak tercemar oleh berbagai polutan.
Kehidupan manusia
dengan lingkungan hidup mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan ini
sangat bergantung dan dipengaruhi oleh pandangan manusia tentang lingkungan
hidup tersebut. Terdapat salah satu teori yang menjelaskan tentang pandangan
manusia terhadap lingkungan hidup, yaitu teori antroposentrisme. Teori ini
menempatkan manusia sebagai pusat, dan semuanya demi kepentingan manusia.
Banyak yang menyangkal teori ini karena hanya befokus pada manusianya saja
tanpa memperdulikan lingkungan.
Pencemaran air merupakan masuknya suatu zat, energi
maupun komponen lainnya baik berupa makhluk hidup maupun benda mati ke dalam
air yang menyebabkan penurunan kualitas air sehingga air tidak dapat
berfungsi sebagai mana mestinya. Pencemaran air dapat disebabkan oleh limbah
industri maupun sampah. Sampah dibedakan menjadi dua yaitu sampah organik dan
anorganik. Sampah organik sampah yang berasal dari tumbuhan dan sisa pencernaan
hewan yang mudah untuk diuraikan oleh alam secara alami. Sampah anorganik
merupakan sampah yang berasal dari hasil pengolahan manusia, seperti plastik.
Sampah ini sangat sulit untuk diuraikan oleh alam dan membutuhkan waktu yang lama.
Sedangkan limbah industri bisa dihasilkan dari berbagai pabrik yang langsung
membuang limbah ke sungai, contoh salah satu yang ada di Blitar yaitu limbah
industri tahu.
Beberapa cara yang bisa digunakan untuk mengurangi
jumlah sampah anorganik yaitu dengan membuat suatu kerajinan, selain mengurangi
jumlah sampah yang ada di sekitar lingkungan, langkah ini juga bisa digunakan
masyarakat untuk menambah penghasilan. Pembuatan kerajinan harus menggunakan
keahlian khusus agar hasil yang didapat maksimal dan bisa memikat daya beli
masyarakat. Pengolahan kembali dari sampah juga bisa dilakukan pada sampah
organik. Masyarakat biasanya hanya membakar daun-daunan kering tanpa membuat
suatu inovasi baru untuk mengolah sampah daun tersebut. Sekarang ini sudah
banyak cara untuk mengolah kembali sampah organik yang ada disekitar lingkungan
masyarakat tanpa harus merusak atau mencemari lingkungan yang lain yaitu dengan
mengolahnya menjadi pupuk kompos. Sedangkan cara yang dapat digunakan untuk
mengurangi limbah industri tahu yaitu untuk limbah padat, limbah tahu
diolah menjadi tepung maupun kerupuk, selain itu juga dapat digunakan untuk
makanan ternak karena keuntungannya ternak akan cepat gemuk dengan makan ampas
tahu. Apabila limbah cair, limbah tahu diolah menjadi biogas sebagai bahan
bakar dalam industri rumah tangga. Biogas tersebut bisa menjadi pengganti
minyak tanah.
Prinsip dari cara penanggulangan tersebut yaitu
dengan tidak merusak lingkungan serta menyelamatkan lingkungan, khususnya air
dari pencemaran. Sebab air, sebagai kebutuhan yang sangat penting bagi
kehidupan makhuk hidup di bumi tidak mungkin untuk dipisahkan. Pemisahan antara
air dan makhluk hidup akan menyebabkan tidak adanya kehidupan di bumi, sebab
kegiatan manusia hampir semua memerlukan
air, misalnya minum, mandi, mencuci, kendaraan, menyiram tanaman, dan
sebagainya.
Solusi
Cara mengatasi permasalahan pencemaran air yaitu
dengan dilakukannya penanganan antara pemerintah dan masyarakat secara
seimbang, sehingga pencemaran air yang diakibatkan oleh sampah dan limbah dapat
teratasi dengan baik. Cara mengatasi sampah organik yaitu dapat dilakukan
pembuatan kompos, karena dengan dibuatnya kompos akan menjadi bermanfaat
terhadap lingkungan, khususnya tanaman. Sedangkan sampah anorganik dapat dibuat
kerajinan, karena kerajinan dari barang-barang bekas bisa memiliki nilai jual
yang tinggi apabila menarik perhatian masyarakat. Namun cara penanganan limbah
tahu dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu pertama, pabrik yang
memproduksi tahu memiliki tempat pembuangan limbah khusus, supaya membuangnya
tidak ke sungai. Kedua, limbah tahu tersebut sebelum dibuang ke sungai
seharusnya dilakukan penyaringan terlebih dahulu, supaya tidak mencemari
sungai. Ketiga, Penanaman pohon disekitar area pabrik, pohon selain bisa mencegah longsor, diakui mampu menyerap air dalam jumlah
banyak. Keempat,
limbah tahu juga dapat diolah menjadi tepung maupun kerupuk, selain itu juga
dapat digunakan untuk makanan ternak karena keuntungannya ternak akan cepat
gemuk dengan makan ampas tahu (limbah padat). Selain itu, limbah tahu juga
dapat diolah menjadi biogas sebagai bahan bakar dalam industri rumah tangga
(limbah cair).
Cara penanganan dari
pemerintah Blitar yaitu Pemerintah Kabupaten Blitar terus melakukan sosialisasi
sampah dengan sistem bank sampah. Pengelolaan bank sampah yang baik, akan dapat
menekan masalah-masalah terkait pencemaran di lingkungan, pengelolaan bank
sampah juga dapat dijadikan penghasilan pasif masyarakat untuk menambah
keuntungan masyarakat. Terkait bank sampah, Bank sampah adalah suatu sistem
pengelolaan sampah kering secara kolektif yang mendorong masyarakat untuk
berperan serta aktif di dalamnya. Sistem ini akan menampung memilah, dan
menyalurkan sampah bernilai ekonomi pada pasar sehingga masyarakat mendapat keuntungan
ekonomi dari menabung sampah. BLH kota Blitar memperketat aturan pembuangan sampah
warga kota. Jika terbukti ada warga yang membuang sampah sembarangan atau memperlakukan
sampah seenaknya sendiri dan merugikan warga lain, BLH akan menyerahkan sanksi
sepenuhnya ke Kelurahan dan lingkungan baik berupa denda maupun sanksi sosial.
Selain itu, Pemerintah kota Blitar juga sudah mulai mendukung dengan adanya
sekolah adiwiyata, karena dengan adanya sekolah adiwiyata siswa akan diajarkan
tentang pentingnya lingkungan hidup.
Penanganan masalah
limbah di Kota Blitar, Pemerintah sudah menyediakan 12 titik Instalasi
Pengolahan Limbah (IPAL). Pembuatan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) ini
digunakan untuk pengrajin tahu yang berada di wilayah Kota maupun Kabupaten
Blitar. Selain itu, juga diberikan pembinaan-pembinaan untuk industri yang
membuang limbah di sungai. Pemerintah Kota Blitar juga menghimbau kepada
masyarakat untuk tidak membuang semua limbah produksi maupun rumah tangga ke
sungai yang bisa mengakibatkan pencemaran air. Sebelum dibuang ke sungai limbah
harus diolah terlebih dahulu, dengan pembuatan IPAL.
Program dan penanganan Pemerintah
tersebut sudah dilakukan dengan baik, namun jika dilihat di lingkungan
masyarakat belum dapat berjalan dengan maksimal sesuai harapan pemerintah.
Masyarakat masih banyak yang membuang sampah ke sungai, selain itu siswa yang
memiliki sekolah adiwiyata juga belum sadar akan pentingnya lingkungan bagi
manusia. Masyarakat juga banyak yang belum mau memanfaatkan sampah untuk
kegiatan yang bermanfaat. Hal tersebut menyebabkan sampah masih menjadi masalah
yang serius, meskipun berbagai program sudah dilakukan dari pihak pemerintah.
Pemerintah Kota Blitar juga sudah menyediakan IPAL
kepada industri tahu di kabupaten dan kota yang ada di Blitar. Namun tidak
semua warga mau membuang limbah ke tempat yang sudah ditentukan tersebut.
Kebiasaan lama masyarakat memang susah untuk dihilangkan. Sebab masyarakat
sudah terbiasa membuang limbah ke sungai. Hal tersebut perlu adanya program
pemerintah yang lebih ketat, sehingga masyarakat jera dan sadar akan pentingnya
lingkungan.
Sumber:
Tanpa nama.
2016. Jumlah Sampah di Kabupaten Blitar
Meningkat, (Online),
2016.
Tanpa nama.
2016. Pengrajin Tahu Tempe di Kelurahan
Pakunden Kota Blitar,
tanggal 23
Oktober 2016.
Jumat, 13 Mei 2016
makalah sejarah masa penjajahan belanda
Nama: Laili Fitri
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan
negara yang kaya akan sumber daya alam. Selain kaya akan sumber daya alamnya,
masyarakat Indonesia juga bersifat ramah-tamah. Negara lain menjadi memiliki
keinginan untuk menguasai Indonesia karena keadaan Indonesia yang seperti itu,
sehingga terjadinya kolonialisme.
Era kolonial di Indonesia ditandai dengan
masuknya Barat (Eropa) ke Indonesia untuk mengeksploitasi bangsa Indonesia,
baik aspek sumber daya alamnya maupun sumber daya manusianya. Dalam sejarahnya,
usaha bangsa Barat untuk mendapatkan benua baru dipelopori oleh bangsa Portugis
dan Spanyol yang ingin mendapatkan rempah-rempah. Selain keduanya, pada tahun
1596, pedagang Belanda dengan empat buah kapal berlabuh di Banten. Mereka
mencari rempah-rempah disana dan daerah sekitarnya untuk diperdagangkan
(Sudirman, 2014:217). Keberadaan Belanda di Indonesia memang cukup lama, tak heran
jika banyak kebijakan dan peristiwa penting yang melibatkan interaksi rakyat
nusantara dengan pemerintahan Belanda. Kebijakan-kebijakan yang bangsa Belanda
terhadap bangsa Indonesia memberikan dampak yang tidak bagus untuk bangsa
Indonesia. Dengan adanya kebijakan tersebut bangsa Indonesia mengalami
kelaparan, kemiskinan bahkan penderitaan yang sangat dalam. Salah satu peristiwa
yang tak mungkin dilupakan adalah kebijakan pemerintah Belanda yang menerapkan
sistem tanam paksa. Rakyat Indonesia sangat sengsara dengan adanya kebijakan
tersebut, karena rakyat Indonesia harus bekerja tanpa diberi upah. Oleh sebab
itu, maka dibuatnya makalah ini agar dapat menambah pengetahuan tentang sistem
tanam paksa di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Bagaimana sejarah kedatangan Belanda ke
Indonesia?
b.
Bagaimana latar belakang adanya sistem
tanam paksa di Indonesia?
c. Bagaimana
dampak sistem tanam paksa terhadap bangsa Indonesia?
1.3 Tujuan
a.
Untuk menjelaskan sejarah kedatangan
Belanda ke Indonesia
b.
Untuk menjelaskan latar belakang adanya
sistem tanam paksa di Indonesia
c.
Untuk menjelaskan dampak sistem tanam
paksa terhadap bangsa Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Kedatangan Belanda
Pada tahun 1596, pedagang Belanda
dengan empat buah kapal di bawah Cornelius de Houtman berlabuh di Banten.
Mereka mencari rempah-rempah disana dan daerah sekitarnya untuk diperdagangkan
di Eropa. Namun, karena kekerasan dan kurang menghormati rakyat, maka mereka
diusir dari Banten. Kemudian, pada tahun 1598 pedagang Belanda datang kembali
ke Indonesia di bawah Van Verre dengan delapan kapal dipimpin Van Neck, Jacob
van Heemkerck datang di Banten dan diterima oleh Sultan Banten Abdulmufakir
dengan baik. Sejak itulah, terjadi hubungan perdagangan dengan pihak Belanda
sehingga berkembang pesat perdagangan Belanda di Indonesia. Namun, tujuan
dagang tersebut berubah. Belanda ingin berkuasa sebagai penjajah yang kejam dan
sewenag-wenang, melakukan monopoli perdagangan, imperialisme ekonomi dan
perluasan kekuasaan (Sudirman, 2014:217).
2.2
Latar Belakang
Faktor utama
diberlakukannya sistem tanam paksa di Indonesia adalah adanya kesulitan keuangan
yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan untuk membiayai
keperluan militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830 di Negeri
Belanda dan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) di Indonesia. Perang
Belgia berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan
menyebabkan keuangan Belanda memburuk. Perang Diponegoro merupakan perang
termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi
yaitu sekitar 20 juta gulden. Usaha untuk menyelamatkan keuangan Belanda sebenarnya
sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Van der
Capellen menerapkan suatu kebijakan yang menjamin orang Jawa untuk menggunakan
dan memetik hasil tanah mereka secara bebas. Kebijakan yang ditempuh saat itu
diharapkan dapat mendorong orang Jawa untuk menghasilkan produk yang dapat
dijual sehingga lebih memudahkan mereka membayar sewa tanah. Kebijakan ini
menemui kegagalan karena pengeluaran tambahan akibat Perang Jawa dan merosotnya
harga komoditi pertanian tropis di dunia. Selama Perang Jawa berlangsung, pihak
Belanda memikirkan berbagai rencana untuk memperoleh keuntungan besar dari
koloni-koloninya terutama Pulau Jawa. Pada tahun 1829 Johannes Van den Bosch
menyampaikan kepada Raja Belanda usulan-usulan yang kelak disebut culturstelsel.
Van den Bosch ingin menjadikan Jawa sebagai aset yang menguntungkan tanah air
dalam tempo sesingkat mungkin dengan menghasilkan komoditi pertanian tropis,
terutama kopi, gula, dan nila (indigo), dengan harga murah sehingga dapat
bersaing dengan produk serupa dari belahan dunia lain. Van den Bosch
menyarankan sebuah sistem yang dia klaim lebih sesuai dengan tradisi orang
Jawa, yang didasarkan atas penanaman dan penyerahan secara paksa hasil bumi
(forced cultivation) kepada pemerintah. Raja menyetuji usulan-usulan tersebut,
dan pada bulan Januari 1830 Van den Bosch tiba di Jawa sebagai Gubernur
Jenderal yang baru (Zulkarnain, 2010:3). Kebijakan cultuur stelsel ini
berdasarkan pada asumsi bahwa desa di Jawa berutang kepada pemerintah. Utang
itu diukur senilai 40% dari hasil panen desa yang bersangkutan. Tanaman itu
antara lain nila, kopi, tembakau, teh, tebu dan kakao (Sudirman, 2014:267).
Gubernur Jendral Van den
Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem tanam paksa dengan tujuan
utamanya yaitu untuk mengisi kas pemerintahan Belanda yang kosong, Gubernur
Jendral Van den Bosch membuat peraturan yang mewajibkan rakyat untuk
menyerahkan landrento (Wahyudin, 2015). Sebenarnya pada masa
tersebut sebutan tanam paksa tidak dikenal oleh masyarakat pribumi, hal ini
dikarenakan pada awal mulanya pemerintahan Belanda menyebut sistem yang
diterapkan di wilayah Indonesia dengan sebutan Cultuurstelsel atau bisa juga
disebut dengan sistem kultivasi dan baru pada tahun-tahun berikutnya sejarawan
Indonesia menyebutnya dengan sistem tanam paksa. Sebutan ini diberikan
karena bentuk kebijakan yang diberikan oleh pemerintahan Belanda terhadap
masyarakat pribumi atas dasar paksaan.
Pada tahun 1854, dikeuarkan Regerings Regelment (RR). Salah satu
pasalnya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah dengan
ketentuan yang akan ditetapkan ordonansi. Kelompok liberal yang berperan
sebagai pengusaha dan pemilik modal berada di belakang keluarnya undang-undang
tersebut. Tujuannya agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan
tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom). Dengan demikian,
dimungkinkan terjadinya penjualan tanah dan penyewaannya karena tanah adat dan
kas desa tidak dapat diperjualbelikan atau disewakan. Selain tujuan tersebut,
pemerintah memberikan kesempatan kepada pengusaha swasta untuk dapat menyewa
tanah jangka panjang dan murah (Sudirman, 2014:267).
2.3
Ketentuan Pokok Sistem Tanam Paksa
Sudirman (2014:267-268) menjelaskan
ketentuan Sistem Tanam Paksa yang terdapat dalam Lembaran Negara (Staatsblad)
tahun 1843 No. 22, antara lain isinya sebagai berikut:
a. Lahan
yang disediakan untuk tanaman wajib harus atas persetujuan penduduk.
b. Tanah
pertanian yang disediakan penduduk untuk tanaman wajib tidak boleh melebihi
seperlima bagian.
c. Pekerjaan
yang diperlukan untuk menanam tanaman wajib tidak boleh melebihi waktu menanam
padi.
d. Tanah
yang digunakan menanam tanaman wajib tidak melebihi luas lahan menanam padi.
e. Tanaman
wajib yang dihasilkan harus diberikan kepada pemerintah. Jika hasil yang
diperoleh lebih dari yang ditaksir, lebihnya diserahkan kepada penduduk.
f.
Gagal panen ditanggung oleh pemeritah asal
penyebabnya bukan karena kurang rajinnya penduduk.
g. Penduduk
desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala desa, sedangkan
pegawai Eropa melakukan pengawasan terbatas agar penanaman dan panen berjalan
baik dan tepat pada waktunya.
Jika diamati dari segi
isi staatsblad tersebut, maka Sistem Tanam Paksa tidak begitu memberatkan pada
penduduk. Dampaknya cukup destruktif menjadikan
rakyat miskin dan tidak teratur hidupnya. Fenomena ini diakibatkan oleh adanya
penyimpangan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam staatsblad yang dilakukan
oleh pemerintah Hindia Belanda. Penduduk lebih banyak mencurahkan perhatian,
tenaga, dan waktunya untuk tanaman berkualitas ekspor, sehinga tidak dapat
mengerjakan sawahnya dengan baik, bahkan dalam suatu waktu tidak dapat
mengerjakan sawahnya sama sekali (Hermawati, 2013:66).
Penguasa memberlakukan Cultuur Procenten yaitu hadiah panen
bagi para pejabat yang dapat menyerahkan hasil tanaman lebih banyak. Reaksi
terhadap Sistem Tanam Paksa inilah yang melatarbelakangi pemerintah
mengeluarkan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) pada tahun 1870. Dalam
Agrarische Wet terdapat pernyataan bahwa “Semua tanah yang tidak terbukti
memeiliki bukti hak milik (eigendom)
adalah menjadi domain negara atau milik negara”.
Jadi inti pokok kebijakan
cultuur stelsel adalah:
a. Rakyat
wajib menyediakan seperlima lahan garapannya untuk ditanami tanaman wajib
(tanaman berkualitas ekspor).
b. Lahan
yang disediakan untuk tanaman wajib dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
c. Hasil
panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Kelebihan hasil panen dibayarkan
kembali kepada rakyat.
d. Tenaga
dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib tidak boleh melebihi
tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
e. Mereka
yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari setahun di perkebunan
milik pemerintah.
f.
Penggarapan tanaman wajib di bawah
pengawasan langsung penguasa pribumi. Pegawai-pegawai Belanda mengawasi
jalannya penggarapan dan pengangkutan.
Kartodirdjo (1987:366)
menjelaskan gambaran tentang derajat intensitas penyelenggaraan sistem tanam
paksa menurut catatan tahun 1833 sebagai berikut.
- Gula: 32.722 bau
- Indigo: 23.141 bau
- Teh: 324 bau
- Tembakau: 286 bau
- Kayu manis: 30 bau
- Katun: 5 bau
Ditambah dengan luas tanah yang ditanami
lada, nopal dan murbai seluruh areal yang dipergunakan sistem tanam paksa ada
kira-kira 50.000 bau. Pada 1861 dari tanah rakyat yang dipergunakan sistem
tanam paksa ada 53.159 bau.
2.4
Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap Bangsa Indonesia
Dampak negatif
dari pelaksanaan tanam paksa:
a.
Waktu yang dibutuhkan dalam penggarapan
budidaya tanaman ekspor seringkali mengganggu kegiatan penanaman padi. Persiapan
lahan untuk tanaman kopi biasanya berbenturan dengan penanaman padi.
b.
Penggarapan tanaman ekspor seperti tebu
membutuhkan air yang sangat besar sehingga memberatkan petani.
c.
Budidaya tebu dan nila menggunakan
sebagian besar tanah sawah petani yan baik dan bernilai paling tinggi.
d.
Pelaksanaan sistem tanam paksa ini
melipatgandakan kebutuhan akan hewan terak petani, tidak hanya untuk pekerjaan
di ladang tetapi juga sebagai alat angkut hasil tanaman ekspor menuju pabrik
atau pelabuhan.
e.
Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah
penyakit dimana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya
kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon
(1843). Demak (1849), dan Grobongan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah
penduduk menurun drastis. Di sampng itu, juga terjadi penyakit busung lapar
(hongorudim) dimana-mana (Sondarika, 2015:64).
Dampak positif
dari pelaksanaan sistem tanam paksa:
a.
Rakyat Indonesia mengenal beragai teknik
menanam jenis-jenis tanaman baru.
b.
Meningkatkan jumlah uang yang beredar di
pedesaan, sehingga memberikan rangsangan bagi tumbuhnya perdagangan.
c.
Munculnya tenaga kerja yang ahli dalam
kegiatan non pertanian yang terkait dengan perkebunan dan pepabrikan di
pedesaan.
d.
Penyempurnaan fasilitas yang digunakan
dalam proses tanam paksa, seperti jalan, jembatan, penyempurnaan fasilitas
pelabuhan dan pabrik dan gudang untuk
hasil budidayanya (Sondarika, 2015:65).
Namun dampak positif dari
adanya sistem tanam paksa tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan
penderitaan yang dirasakan bangsa Indonesia. Kemiskinan, kesengsaraan dan
kelaparan harus mereka tanggung. Ditambah lagi dengan beban pajak yang berat,
panen yang gagal, dan kerja rodi yang semena-mena yang membawa penduduk bekerja
di lahan-lahan Belanda semakin menambah penderitaan kaum pribumi. Banyak tanah
pertanian yang terlantar karena tenaga penggarap harus bekerja di lahan-lahan
milik Belanda, akibatnya gagal panen dan terjadi paceklik, kelaparan pun
terjadi dimana-mana.
Dengan penyelenggaraan
sistem tanam paksa, maka nyatalah usurpasi kekuasaan kolonial sampai di
pedesaan dan merusak hak milik tanah menurut hukum adat setempat, karena
tekanan dari atas maka milik kurang berarti dan tergeser menjadi hak guna.
Dampak sistem tanam paksa pada masyarakat Indonesia yang sangat berpengaruh
untuk jangka panjang pada struktur sosial ekonominya ialah bahwa sistem tanam
paksa hanya merupakan suatu intensifikasi sistem produksi pre kapitalis
sehingga tidak mampu menciptakan kekuatan-kekuatan ekonomis yang baik yang
melahirkan pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan kapitalismenya. Sistem tanam
paksa menciptakan usaha pertanian yang padat karya pada pihak pribumi serta
usaha industri pertanian yang padat modal pada pihak pengusaha Eropa atau asing
(Kartodirdjo, 1987:373). Apabila dilihat dari perjelasan tersebut, sistem tanam
paksa membuat diskriminasi antara golongan penjajah dan yang dijajah.
2.5
Tokoh dalam Sistem Tanam Paksa
Dalam perkembangan politik
Nederland pada kira-kira pertengahan abad ke-19 kaum borjuis memegang peranan
penting, terutama dalam memberikan dasar hukum bagi suatu pemerintahan daerah
jajahan. Perubahan perundang-undangan dasar pada 1848 membawa konsekuensi bahwa
untuk pemerintahan Hindia Belanda persoalan pengawasan keuangannya perlu diatur
menurut perundang-undangan. Sistem tanam paksa dijalankan berdasarkan Regerings
Reglement dari van den bosch (1836) masih ada di bawah otoritas gubernur
jenderal yang telah mendapat mandat dari Raja Belanda. Kecaman-kecaman yang
tajam dari oposisi kolonial, yang dipelopori oleh Van Hoevell terhadap sistem
tanam paksa dengan segala penyimpangan dan penyalahgunaannya, kemudian disusul
oleh Douwes Dekker dengan Max Havelaar-nya mempercepat proses penghapusan
sistem tanam paksa. Pembukaan tabir sistem tanam paksa tidak hanya dimaksud
untuk mengungkapkan eksploitasi pribumi, baik tanah maupun tenaganya, tetapi
juga agar tanah dan tenaga itu dibebaskan dan dengan demikian pengusaha swasta
dapat menggunakannya (Kartodirdjo, 1987:376). Douwes Dekker, membentangkan
kekejaman-kekejaman sistem tanam paksa dalam bukunya sedangkan Van Hovell
membela kepentingan penduduk pribumi tanpa mencela sistem eksploitasi di
daerah-daerah jajahan untuk kepentingan negeri induk. Dua tokoh ini berjasa
sekali di dalam menarik perhatian umum terhadap persoalan-persoalan kolonial.
Tulisan populer mereka memang meratakan jalan, tetapi kemenangan harus
diperjuangkan melalui saluran parlementer. Perjuangan yang terus-menerus inilah
yang berlangsung selama masa sepuluh tahun berikutnya (Kartodirdjo, 1990:16).
2.6
Penyebab Runtuhnya Hindia Belanda
Pada
tanggal 7 Desember 1941 tentara Jepang secara mendadak mengadakan serangan
terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbour, Hawai. Lima jam
setelah peristiwa itu, pemerintah Hindia Beanda mengumumkan perang kepada
Jepang. Guna mengantisipasi serangan Jepang, negara-negara sekutu di Asia
Tenggara membentuk komando gabungan dengan nama Abdacom (American, British,
Dutch, Australian, Command). Markas besar Abdacom berada di Lembang (Jawa
Barat), sedangkan markas besar Angkatan Lautnya di Surabaya.
Dalam serangannya
terhadap sekutu di Laut Cina Selatan, kapal Inggris Prince of Wales dan Repulse
berhasil ditenggelamkan oleh 50 pengebom berani mati Jepang. Akhirnya, setelah
peristiwa itu Abdacom berantakan. Komandan tertinggi, Sir Archibald Wavell,
akhirnya terpaksa meninggalkan Indonesia karena sudah tidak bisa dipertahankan
lagi, sehingga menyingkir ke India utuk mempertahanka India. Dalam serangannya
ke Indonesia, tentara Jepang memperoleh kemajuan yang sangat cepat (Sudirman,
2014:276).
Sudirman (2014:277) menjelaskan faktor
utama menjadi penyebab runtuhnya Hindia
Belanda adalah:
a. Perundingan
yang gagal
Sebelum serbuan Jepang
pada bulan Februari 1940, Duta Besar Jepang di Den Haag mengajukan sebuah tuntutan
kepada pihak Belanda. Permintaan itu meliputi perdagangan Jepang dan Hindia
Belanda harus ditingkatkan. Selain itu, Jepang menghendaki minyak mentak dan bauksit lebih banyak lagi. Sebab, Jepang belum membuat kesepakatan
dengan perusahan eksplorasi tambang sebelumnya, sehingga tuntutan Jepang
lainnya ditolak. Namun, Jepang tidak menyerah. Perundingan itu berlangsung
selama berbulan-bulan.
b. Perang
Hindia Belanda dan Jepang
Sasaran utama serbuan
Jepang di Hindia Belanda adalah pengeboran minyak di Tarakan, Balikpapan, dan
Palembang. Gerakan maju itu dimungkinkan setelah pertahanan Hindia Belanda di
utara Pulau Sulawesi berhasil dilumpuhkan pada tanggal 26 Desember 1941.
Kehancuran instansi pengeboran minyak di Tarakan menjadi masalah besar bagi
Jepang. Untuk memastikan agar tindakan itu tidak terjadi, dua orang perwira
Belanda dikirim ke Balikpapan dengan pesan peringatan bahwa seluruh prajurit
dan kalangan sipil akan dibunuh jika Jepang tidak memperoleh instansi
pertambangan di kota itu dalam keadaan utuh. Sasaran selanjutnya adalah
Palembang, sumber minyak mentah yang menghasilkan setengah produksi seluruh
Hindia Belanda. Jepang berusaha mencegah sabotase dengan cara melancarkan
serangn mendadak pasukan komando.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Sistem Tanam Paksa
merupakan sistem yang dilakukan bangsa Belanda terhadap Indonesia yang
bertujuan untuk mengisi kas pemerintahan Belanda yang kosong. Sebenarnya pada masa
tersebut sebutan tanam paksa tidak dikenal oleh masyarakat pribumi, hal ini
dikarenakan pada awal mulanya pemerintahan Belanda menyebut sistem yang
diterapkan di wilayah Indonesia dengan sebutan dan baru pada tahun-tahun
berikutnya sejarawan Indonesia menyebutnya dengan sistem tanam paksa. Sebutan ini diberikan karena bentuk
kebijakan yang diberikan oleh pemerintahan Belanda terhadap masyarakat pribumi
atas dasar paksaan. Sehingga menyebabkan masyarakat pribumi sengsara, kelaparan
serta kemiskinan.
3.2 Saran
Masyarakat Indonesia
harus berhati-hati terhadap masyarakat Internasional. Masyarakat harus
pandai-pandai menyaring apa yang baik dan apa yang buruk bagi bangsa Indonesia.
Terutama pemuda-pemudi Indonesia harus selalu menjaga dan mempertahankan
Indonesia jangan sampai Indonesia terjajah lagi oleh negara lain, apalagi
sampai mengalami hal yang serupa (sistem tanam paksa) serta perlunya pemerintah
untuk menjaga bangsa Indonesia.
Sejarah
Kopi di Indonesia
Kopi dibawa ke Hindia-Belanda pada 1669, namun bibit kopi
pertama ini punah karena kiriman kopi yang dikirim, terkena bencana banjir di
Batavia. Kiriman kopi selanjutnya tiba pada 1699 dan menjadi sumber bagi
segala kopi yang tumbuh di Jawa dan di bagian-bagian lain kepulauan Nusantara
sampai abad ke-21. Mengenai kedatangan biji kopi ke Hindia-Belanda ini,
dilakukan dengan cara diselundupkan oleh seorang pria bernama Pieter van de
Brooke, pedagang berkebangsaan Belanda dari pusat perdagangan kopi yang saat
itu terletak di Mocha (Yaman).
Ia
membawanya ke Amsterdam Botanical Garden untuk diteliti lebih lanjut. VOC lalu
mengembangkannya di Sri Lanka dan India. Budidaya kopi pun mengalami
perkembangan pesat, terutama semenjak diberlakukannya kebijakan Preanger
Stelsel yang dimulai pada 1720 di Jawa Barat atau di Priangan. Dalam
pembudidayaan kopi di Priangan, para petani harus membuka hutan, menanam kopi,
memelihara kebun kopi, hingga kopi tersebut panen. Sistem ini mengabaikan
kepentingan petani dalam menghasilkan padi sebagai makanan pokok. Indonesia
adalah tempat pertama kali kopi dibudidayakan secara luas di luar Arab dan
Ethiopia. Hingga akhirnya, VOC mampu memonopoli perdagangan kopi dari tahun
1725 sampai 1780. Pembudidayaan kopi di Indonesia pun terus berlanjut, meski
VOC mengalami kebangkrutan pada 1799. Ketika Pemerintah Hindia-Belanda memegang
kekuasaan pada awal abad ke-19, kopi tetap menjadi komoditi penting yang
dipertahankan.
Pada
1830, berlakulah sistem tanam baru yang dinamakan Culturstelsel atau Sistem
Tanam Paksa. Pada periode Tanam Paksa, tanaman kopi yang dipertahankan sebagai
cara utama menanam atas perintah yang berwajib, diperluas sampai ke seluruh
Jawa (terutama Jawa Tengah dan Timur, yang meliputi Semarang, Sala, Kedu,
Besuki, dan Malang) dan juga di pulau-pulau lain, seperti di Palembang,
Sumatera Barat, Sumatera Timur, dan Lampung. Pada 1833, panen kopi yang
dihasilkan rakyat wajib diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah, adapun
kelebihan hasil panen dan hasil yang terkena pajak hanya dijual kepada
pemerintah dengan harga yang ditentukan sendiri oleh pemerintah. Peraturan
tersebut memberatkan petani pribumi karena lahan yang harus ditanami mencapai
setengah sampai seperlima dari lahan milik petani, bahkan kadang melebihi
kapasitas lahan.
Ketika
pada tahun 1850-an dan 1860-an sebagian besar wajib tanam kopi dan monopoli
lambat laun dihapuskan, tanam paksa kopi tetap dilaksanakan walaupun dalam
bentuk yang lebih lunak. Komoditi kopi pun sempat mengalami penurunan ketika
pada 1880-an terjadi hama atau penyakit daun kopi. Hama tersebut menyerang
pada perkebunan di daratan rendah. Sementara tanaman kopi di daratan tinggi,
terutama di ketinggian 1.000-1.700 meter dapat bertahan.
Setelah
masa penurunan akibat hama penyakit daun, secara sistematis penanaman kopi atas
perintah yang berwajib, dalam hal ini pemerintah, makin dikendorkan. Walaupun
demikian, penanaman kopi saat itu sudah menyebar luas ke pulau-pulau di luar
Jawa. Pemerintah Hindia-Belanda sempat mencoba membudidayakan kopi melalui
sejenis tanam paksa di luar pulau Jawa, namun usaha tersebut tidak
berhasil. Memasuki awal abad ke-20, pemerintah Hindia-Belanda akhirnya
melepaskan usaha penanaman paksa kopi di pulau-pulau selain Jawa, dari titik
inilah di daerah seperti Sumetera, perkebunan-perkebunan rakyat mulai
berkembang pesat. Kondisi perkembangan kopi pun menjadi berbalik; di Pulau Jawa
hanya beberapa distrik di Jawa Barat dan Timur yang mempertahankan penanaman
kopi sesudah tanam paksa dihapuskan, sementara itu di Sumatera, perkebunan kopi
justru tumbuh pesat (Cerita Indnoesia).
DAFTAR
PUSTAKA
Hermawati,
Mifta. 2013. Tanam Paksa sebagai Tindakan
Eksploitasi. (Online),
Kartodirdjo,
Sartono. 1987. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: 1500-1900 Dari
Emporium
Sampai Imperium. Yogyakarta: Ombak.
Kartodirdjo,
Sartono. 1990. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan
Nasional. Jakarta: PT Gramedia
Sondarika,
Wulan. 2015. Dampak Tanam Paksa bagi
Masyarakat Indonesia,
(Online),
Sudirman,
Adi. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia.
Yogyakarta: Diva Press.
Wahyudin,
Dedy. 2015. Sejarah dan Latar Belakang
Tanam Paksa, (Online),
paksa.html),
di akses tanggal 3 Februari 2016
Zulkarnain.
2010. Sejarah Sosial Ekonomi, (Online),
%20M.Pd./Materi%20Diskusi%20Sej.Sosek_.pdf),
di akses tanggal 3
Februari 2016
________.
2014. Sejarah Kopi di Indonesia, (Online),
akses tanggal 4 Februari 2016
Langganan:
Postingan (Atom)