Minggu, 30 Oktober 2016

Sampah dan Limbah Penyebab Pencemaran Air di Kabupaten Blitar


Laili Fitri A


Pencemaran air menjadi permasalahan yang serius di lingkungan masyarakat. Pemicu utama percemaran air yaitu jumlah penduduk yang semakin meningkat dan kebutuhan yang juga semakin bertambah. Kabupaten Blitar merupakan salah satu kota yang memiliki permasalahan pencemaran air. Pencemaran air di kabupaten Blitar semakin hari kian memburuk disebabkan kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya dan pabrik industri, dalam membuang limbah ke sungai tidak diolah terlebih dahulu. Pencemaran air dapat disebabkan oleh limbah industri maupun limbah rumah tangga, dan juga penumpukan sampah yang terus bertambah.
                                                     
Penyebab Pencemaran Air di Blitar
Pencemaran air di Kabupaten Blitar disebabkan oleh masyarakat yang membuang sampah tidak pada tempatnya, sedangkan industri pabrik tahu membuang limbahnya ke sungai tanpa diolah terlebih dahulu. Penyebab tindakan tersebut dilakukan yaitu, pertama masyarakat berfikir bahwa membuang sampah sembarangan bukan hal yang salah, namun wajar dilakukan. Norma dari lingkungan sekitar seperti keluarga, sekolah, masyarakat, atau bahkan tempat pekerjaan. Pengaruh lingkungan merupakan suatu faktor besar didalam munculnya suatu perilaku. Contohnya pengaruh lingkungan dalam membuang sampah sembarangan, akan menjadi faktor besar dalam munculnya perilaku membuang sampah sembarangan. Kedua, kurangnya ketersediaan tempat sampah di berbagai tempat. Masyarakat atau seseorang lebih suka melakukan suatu tindakan yang mudah dilakukan, apabila banyak tempat sampah seseorang tidak akan membuang sampah sembarangan. Ketiga, tidak tersedianya tempat pembuangan limbah khusus, sehingga pabrik industri membuang limbahnya langsung ke sungai. Keempat, pemerintah tidak menyediakan alat untuk mengolah limbah atau sampah yang mudah digunakan.
Dilansir dari jatimtimes.com (23 Februari 2016) menurut BLH kota Blitar jumlah sampah di Kabupaten Blitar terus mengalami peningkatan. Peningkatan tersebut disebabkan bertambahnya jumlah penduduk di Kabupaten Blitar dan juga kesejahteraan ekonomi yang mengakibatkan peningkatan volume sampah dan pola hidup masyarakat menjadi konsumtif. Lima tempat pembuangan sampah akhir di Kabupaten Blitar keseluruhan mengalami peningkatan diantaranya di TPA Srengat, Wlingi, Sutojayan, Kesamben dan TPA Nglegok.

Dampak terhadap lingkungan
Cara berfikir dan tindakan masyarakat tersebut membawa dampak buruk terhadap lingkungan sekitar. Penumpukan sampah terjadi dimana-mana, apalagi di TPA sampah setiap harinya yang dihasilkan melampaui batas. Sampah organik dianggap dapat mengurangi kadar oksigen ke dalam lingkungan perairan, sampah anorganik juga dapat mengurangi sinar matahari yang memasuki ke dalam lingkungan perairan, sehingga mengakibatkan proses esensial dalam ekosistem seperti fotosintesis akan menjadi terganggu. Sampah organik dan anorganik membuat air menjadi keruh, kondisi tersebut akan mengurangi organisme yang hidup dalam air sehingga populasi hewan kecil-kecil akan terganggu. Tempat-tempat penumpukan sampah merupakan lingkungan yang baik digunakan oleh hewan penyebar penyakit penyakit misalnya lalat, nyamuk, tikus, dan bakteri patogen (penyebab penyakit). Adanya hewan-hewan penyebar penyakit tersebut akan mudah tersebar dan menjalar ke lingkungan sekitar. Penyakit yang dihasilkan misalnya kolera, disentri, tipus, diare, dan malaria. Akibat sampah dan limbah yang dibuang sembarangan air akan menjadi tercemar, sehingga tidak dapat dimanfaatkan oleh manusia untuk kebutuhan sehari-hari seperti mandi, minum, dan mencuci. Hal tersebut, disebabkan air sudah tercemar oleh berbagai penyakit yang dihasilkan dari sampah dengan berubahnya warna menjadi keruh dan bau yang tidak sedap. Contohnya sungai Lahar yang terkena limbah tahu yang dihasilkan masyarakat Pakunden, Kecamatan Selorejo, Kota Blitar.
Air yang merupakan kebutuhan primer bagi kehidupan di muka bumi terutama bagi manusia. Oleh karena itu, apabila air yang akan digunakan mengandung bahan pencemar akan dapat mengganggu kesehatan manusia, menyebabkan keracunan bahkan sangat berbahaya karena dapat menyebabkan kematian. Bahan pencemar yang menumpuk dalam jaringan tubuh dapat meracuni organ tubuh, sehingga organ tubuh tidak bisa berfungsi lagi dan dapat menyebabkan kesehatan terganggu bahkan dapat sampai mengakibatkan meninggal.
Dilansir dari Terasjatim.com (9 Januari 2016) warga kelurahan Pakunden kecamatan Sukorejo, Kota Blitar yang berada di sekitaran bantaran sungai lahar resah, karena sudah hampir 20 tahun lebih warga menahan nafas akibat limbah berbau tak sedap yang mengotori sungai Lahar, Pakunden. Limbah tersebut dihasilkan dari pabrik tahu di Kelurahan Pakunden, Blitar. Akibat limbah tersebut, air sungai menjadi keruh dan tidak bening lagi. airnya berwarna hijau dan mengeluarkan bau yang tidak sedap. Hal tersebut, ditambah dengan warga yang membuang sampah sembarangan di sungai yang berada di tengah-tengah permukiman warga tersebut. Warga yang membuang sampah ke sungai Lahar tidak hanya warga setempat, namun warga dari daerah lain juga membuang sampah ke sungai tersebut, sehingga air keruh tersebut menjadi sarang nyamuk dan lalat yang mengakibatkan dampak buruk bagi kesehatan.

Konsep Lingkungan Hidup yang ideal
Semua makhluk hidup membutuhkan suatu zat yaitu air. Tanpa adanya air di dunia maka tidak akan ada kehidupan di dunia, karena air merupakan sumber kehidupan dan akan sangat berbahaya jika air mendadak menghilang. Banyak fungsi yang dibutuhkan dari air yaitu untuk minum, mandi, mencuci, irigasi dan lainnya. Air yang harus dikonsumsi oleh manusia dan makhluk hidup lainnya juga merupakan air yang bersih dengan warna jernih dan tidak menimbulkan bau. Namun saat ini, dimana pertumbuhan penduduk semakin pesat dan juga mulai tumbuhnya sektor perindustrian yang membuat air banyak tercemar oleh berbagai polutan.
Kehidupan manusia dengan lingkungan hidup mempunyai hubungan yang sangat erat. Hubungan ini sangat bergantung dan dipengaruhi oleh pandangan manusia tentang lingkungan hidup tersebut. Terdapat salah satu teori yang menjelaskan tentang pandangan manusia terhadap lingkungan hidup, yaitu teori antroposentrisme. Teori ini menempatkan manusia sebagai pusat, dan semuanya demi kepentingan manusia. Banyak yang menyangkal teori ini karena hanya befokus pada manusianya saja tanpa memperdulikan lingkungan.
            Pencemaran air merupakan masuknya suatu zat, energi maupun komponen lainnya baik berupa makhluk hidup maupun benda mati ke dalam air  yang menyebabkan penurunan kualitas air sehingga air tidak dapat berfungsi sebagai mana mestinya. Pencemaran air dapat disebabkan oleh limbah industri maupun sampah. Sampah dibedakan menjadi dua yaitu sampah organik dan anorganik. Sampah organik sampah yang berasal dari tumbuhan dan sisa pencernaan hewan yang mudah untuk diuraikan oleh alam secara alami. Sampah anorganik merupakan sampah yang berasal dari hasil pengolahan manusia, seperti plastik. Sampah ini sangat sulit untuk diuraikan oleh alam dan membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan limbah industri bisa dihasilkan dari berbagai pabrik yang langsung membuang limbah ke sungai, contoh salah satu yang ada di Blitar yaitu limbah industri tahu.
Beberapa cara yang bisa digunakan untuk mengurangi jumlah sampah anorganik yaitu dengan membuat suatu kerajinan, selain mengurangi jumlah sampah yang ada di sekitar lingkungan, langkah ini juga bisa digunakan masyarakat untuk menambah penghasilan. Pembuatan kerajinan harus menggunakan keahlian khusus agar hasil yang didapat maksimal dan bisa memikat daya beli masyarakat. Pengolahan kembali dari sampah juga bisa dilakukan pada sampah organik. Masyarakat biasanya hanya membakar daun-daunan kering tanpa membuat suatu inovasi baru untuk mengolah sampah daun tersebut. Sekarang ini sudah banyak cara untuk mengolah kembali sampah organik yang ada disekitar lingkungan masyarakat tanpa harus merusak atau mencemari lingkungan yang lain yaitu dengan mengolahnya menjadi pupuk kompos. Sedangkan cara yang dapat digunakan untuk mengurangi limbah industri tahu yaitu untuk limbah padat, limbah tahu diolah menjadi tepung maupun kerupuk, selain itu juga dapat digunakan untuk makanan ternak karena keuntungannya ternak akan cepat gemuk dengan makan ampas tahu. Apabila limbah cair, limbah tahu diolah menjadi biogas sebagai bahan bakar dalam industri rumah tangga. Biogas tersebut bisa menjadi pengganti minyak tanah.
Prinsip dari cara penanggulangan tersebut yaitu dengan tidak merusak lingkungan serta menyelamatkan lingkungan, khususnya air dari pencemaran. Sebab air, sebagai kebutuhan yang sangat penting bagi kehidupan makhuk hidup di bumi tidak mungkin untuk dipisahkan. Pemisahan antara air dan makhluk hidup akan menyebabkan tidak adanya kehidupan di bumi, sebab kegiatan manusia  hampir semua memerlukan air, misalnya minum, mandi, mencuci, kendaraan, menyiram tanaman, dan sebagainya.

Solusi
Cara mengatasi permasalahan pencemaran air yaitu dengan dilakukannya penanganan antara pemerintah dan masyarakat secara seimbang, sehingga pencemaran air yang diakibatkan oleh sampah dan limbah dapat teratasi dengan baik. Cara mengatasi sampah organik yaitu dapat dilakukan pembuatan kompos, karena dengan dibuatnya kompos akan menjadi bermanfaat terhadap lingkungan, khususnya tanaman. Sedangkan sampah anorganik dapat dibuat kerajinan, karena kerajinan dari barang-barang bekas bisa memiliki nilai jual yang tinggi apabila menarik perhatian masyarakat. Namun cara penanganan limbah tahu dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu pertama, pabrik yang memproduksi tahu memiliki tempat pembuangan limbah khusus, supaya membuangnya tidak ke sungai. Kedua, limbah tahu tersebut sebelum dibuang ke sungai seharusnya dilakukan penyaringan terlebih dahulu, supaya tidak mencemari sungai. Ketiga, Penanaman pohon disekitar area pabrik, pohon selain bisa mencegah longsor, diakui mampu menyerap air dalam jumlah banyak. Keempat, limbah tahu juga dapat diolah menjadi tepung maupun kerupuk, selain itu juga dapat digunakan untuk makanan ternak karena keuntungannya ternak akan cepat gemuk dengan makan ampas tahu (limbah padat). Selain itu, limbah tahu juga dapat diolah menjadi biogas sebagai bahan bakar dalam industri rumah tangga (limbah cair).
Cara penanganan dari pemerintah Blitar yaitu Pemerintah Kabupaten Blitar terus melakukan sosialisasi sampah dengan sistem bank sampah. Pengelolaan bank sampah yang baik, akan dapat menekan masalah-masalah terkait pencemaran di lingkungan, pengelolaan bank sampah juga dapat dijadikan penghasilan pasif masyarakat untuk menambah keuntungan masyarakat. Terkait bank sampah, Bank sampah adalah suatu sistem pengelolaan sampah kering secara kolektif yang mendorong masyarakat untuk berperan serta aktif di dalamnya. Sistem ini akan menampung memilah, dan menyalurkan sampah bernilai ekonomi pada pasar sehingga masyarakat mendapat keuntungan ekonomi dari menabung sampah. BLH kota Blitar memperketat aturan pembuangan sampah warga kota. Jika terbukti ada warga yang membuang sampah sembarangan atau memperlakukan sampah seenaknya sendiri dan merugikan warga lain, BLH akan menyerahkan sanksi sepenuhnya ke Kelurahan dan lingkungan baik berupa denda maupun sanksi sosial. Selain itu, Pemerintah kota Blitar juga sudah mulai mendukung dengan adanya sekolah adiwiyata, karena dengan adanya sekolah adiwiyata siswa akan diajarkan tentang pentingnya lingkungan hidup.
Penanganan masalah limbah di Kota Blitar, Pemerintah sudah menyediakan 12 titik Instalasi Pengolahan Limbah (IPAL). Pembuatan Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL) ini digunakan untuk pengrajin tahu yang berada di wilayah Kota maupun Kabupaten Blitar. Selain itu, juga diberikan pembinaan-pembinaan untuk industri yang membuang limbah di sungai. Pemerintah Kota Blitar juga menghimbau kepada masyarakat untuk tidak membuang semua limbah produksi maupun rumah tangga ke sungai yang bisa mengakibatkan pencemaran air. Sebelum dibuang ke sungai limbah harus diolah terlebih dahulu, dengan pembuatan IPAL.
            Program dan penanganan Pemerintah tersebut sudah dilakukan dengan baik, namun jika dilihat di lingkungan masyarakat belum dapat berjalan dengan maksimal sesuai harapan pemerintah. Masyarakat masih banyak yang membuang sampah ke sungai, selain itu siswa yang memiliki sekolah adiwiyata juga belum sadar akan pentingnya lingkungan bagi manusia. Masyarakat juga banyak yang belum mau memanfaatkan sampah untuk kegiatan yang bermanfaat. Hal tersebut menyebabkan sampah masih menjadi masalah yang serius, meskipun berbagai program sudah dilakukan dari pihak pemerintah.
Pemerintah Kota Blitar juga sudah menyediakan IPAL kepada industri tahu di kabupaten dan kota yang ada di Blitar. Namun tidak semua warga mau membuang limbah ke tempat yang sudah ditentukan tersebut. Kebiasaan lama masyarakat memang susah untuk dihilangkan. Sebab masyarakat sudah terbiasa membuang limbah ke sungai. Hal tersebut perlu adanya program pemerintah yang lebih ketat, sehingga masyarakat jera dan sadar akan pentingnya lingkungan.


Sumber:

Tanpa nama. 2016. Jumlah Sampah di Kabupaten Blitar Meningkat, (Online),
sampah-di-kabupaten-blitar-meningkat/), diakses tanggal 23 Oktober
2016.

Tanpa nama. 2016. Pengrajin Tahu Tempe di Kelurahan Pakunden Kota Blitar,
tanggal 23 Oktober 2016.

Jumat, 13 Mei 2016

makalah sejarah masa penjajahan belanda

Nama: Laili Fitri

 
BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Selain kaya akan sumber daya alamnya, masyarakat Indonesia juga bersifat ramah-tamah. Negara lain menjadi memiliki keinginan untuk menguasai Indonesia karena keadaan Indonesia yang seperti itu, sehingga terjadinya kolonialisme.
Era kolonial di Indonesia ditandai dengan masuknya Barat (Eropa) ke Indonesia untuk mengeksploitasi bangsa Indonesia, baik aspek sumber daya alamnya maupun sumber daya manusianya. Dalam sejarahnya, usaha bangsa Barat untuk mendapatkan benua baru dipelopori oleh bangsa Portugis dan Spanyol yang ingin mendapatkan rempah-rempah. Selain keduanya, pada tahun 1596, pedagang Belanda dengan empat buah kapal berlabuh di Banten. Mereka mencari rempah-rempah disana dan daerah sekitarnya untuk diperdagangkan (Sudirman, 2014:217). Keberadaan Belanda di Indonesia memang cukup lama, tak heran jika banyak kebijakan dan peristiwa penting yang melibatkan interaksi rakyat nusantara dengan pemerintahan Belanda. Kebijakan-kebijakan yang bangsa Belanda terhadap bangsa Indonesia memberikan dampak yang tidak bagus untuk bangsa Indonesia. Dengan adanya kebijakan tersebut bangsa Indonesia mengalami kelaparan, kemiskinan bahkan penderitaan yang sangat dalam. Salah satu peristiwa yang tak mungkin dilupakan adalah kebijakan pemerintah Belanda yang menerapkan sistem tanam paksa. Rakyat Indonesia sangat sengsara dengan adanya kebijakan tersebut, karena rakyat Indonesia harus bekerja tanpa diberi upah. Oleh sebab itu, maka dibuatnya makalah ini agar dapat menambah pengetahuan tentang sistem tanam paksa di Indonesia.

1.2  Rumusan Masalah
a.       Bagaimana sejarah kedatangan Belanda ke Indonesia?
b.      Bagaimana latar belakang adanya sistem tanam paksa di Indonesia?
c.       Bagaimana dampak sistem tanam paksa terhadap bangsa Indonesia?

1.3  Tujuan
a.              Untuk menjelaskan sejarah kedatangan Belanda ke Indonesia
b.             Untuk menjelaskan latar belakang adanya sistem tanam paksa di Indonesia
c.              Untuk menjelaskan dampak sistem tanam paksa terhadap bangsa Indonesia



BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Sejarah Kedatangan Belanda
Pada tahun 1596, pedagang Belanda dengan empat buah kapal di bawah Cornelius de Houtman berlabuh di Banten. Mereka mencari rempah-rempah disana dan daerah sekitarnya untuk diperdagangkan di Eropa. Namun, karena kekerasan dan kurang menghormati rakyat, maka mereka diusir dari Banten. Kemudian, pada tahun 1598 pedagang Belanda datang kembali ke Indonesia di bawah Van Verre dengan delapan kapal dipimpin Van Neck, Jacob van Heemkerck datang di Banten dan diterima oleh Sultan Banten Abdulmufakir dengan baik. Sejak itulah, terjadi hubungan perdagangan dengan pihak Belanda sehingga berkembang pesat perdagangan Belanda di Indonesia. Namun, tujuan dagang tersebut berubah. Belanda ingin berkuasa sebagai penjajah yang kejam dan sewenag-wenang, melakukan monopoli perdagangan, imperialisme ekonomi dan perluasan kekuasaan (Sudirman, 2014:217).

2.2 Latar Belakang
Faktor utama diberlakukannya sistem tanam paksa di Indonesia adalah adanya kesulitan keuangan yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan untuk membiayai keperluan militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830 di Negeri Belanda dan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) di Indonesia. Perang Belgia berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan menyebabkan keuangan Belanda memburuk. Perang Diponegoro merupakan perang termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi yaitu sekitar 20 juta gulden. Usaha untuk menyelamatkan keuangan Belanda sebenarnya sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Van der Capellen menerapkan suatu kebijakan yang menjamin orang Jawa untuk menggunakan dan memetik hasil tanah mereka secara bebas. Kebijakan yang ditempuh saat itu diharapkan dapat mendorong orang Jawa untuk menghasilkan produk yang dapat dijual sehingga lebih memudahkan mereka membayar sewa tanah. Kebijakan ini menemui kegagalan karena pengeluaran tambahan akibat Perang Jawa dan merosotnya harga komoditi pertanian tropis di dunia. Selama Perang Jawa berlangsung, pihak Belanda memikirkan berbagai rencana untuk memperoleh keuntungan besar dari koloni-koloninya terutama Pulau Jawa. Pada tahun 1829 Johannes Van den Bosch menyampaikan kepada Raja Belanda usulan-usulan yang kelak disebut culturstelsel. Van den Bosch ingin menjadikan Jawa sebagai aset yang menguntungkan tanah air dalam tempo sesingkat mungkin dengan menghasilkan komoditi pertanian tropis, terutama kopi, gula, dan nila (indigo), dengan harga murah sehingga dapat bersaing dengan produk serupa dari belahan dunia lain. Van den Bosch menyarankan sebuah sistem yang dia klaim lebih sesuai dengan tradisi orang Jawa, yang didasarkan atas penanaman dan penyerahan secara paksa hasil bumi (forced cultivation) kepada pemerintah. Raja menyetuji usulan-usulan tersebut, dan pada bulan Januari 1830 Van den Bosch tiba di Jawa sebagai Gubernur Jenderal yang baru (Zulkarnain, 2010:3). Kebijakan cultuur stelsel ini berdasarkan pada asumsi bahwa desa di Jawa berutang kepada pemerintah. Utang itu diukur senilai 40% dari hasil panen desa yang bersangkutan. Tanaman itu antara lain nila, kopi, tembakau, teh, tebu dan kakao (Sudirman, 2014:267).
Gubernur Jendral Van den Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem tanam paksa dengan tujuan utamanya yaitu untuk mengisi kas pemerintahan Belanda yang kosong, Gubernur Jendral Van den Bosch membuat peraturan yang mewajibkan rakyat untuk menyerahkan landrento (Wahyudin, 2015). Sebenarnya pada masa tersebut sebutan tanam paksa tidak dikenal oleh masyarakat pribumi, hal ini dikarenakan pada awal mulanya pemerintahan Belanda menyebut sistem yang diterapkan di wilayah Indonesia dengan sebutan Cultuurstelsel atau bisa juga disebut dengan sistem kultivasi dan baru pada tahun-tahun berikutnya sejarawan Indonesia menyebutnya dengan sistem tanam paksa. Sebutan ini diberikan karena bentuk kebijakan yang diberikan oleh pemerintahan Belanda terhadap masyarakat pribumi atas dasar paksaan.
Pada tahun 1854, dikeuarkan Regerings Regelment (RR). Salah satu pasalnya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah dengan ketentuan yang akan ditetapkan ordonansi. Kelompok liberal yang berperan sebagai pengusaha dan pemilik modal berada di belakang keluarnya undang-undang tersebut. Tujuannya agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom). Dengan demikian, dimungkinkan terjadinya penjualan tanah dan penyewaannya karena tanah adat dan kas desa tidak dapat diperjualbelikan atau disewakan. Selain tujuan tersebut, pemerintah memberikan kesempatan kepada pengusaha swasta untuk dapat menyewa tanah jangka panjang dan murah (Sudirman, 2014:267).

2.3 Ketentuan Pokok Sistem Tanam Paksa
Sudirman (2014:267-268) menjelaskan ketentuan Sistem Tanam Paksa yang terdapat dalam Lembaran Negara (Staatsblad) tahun 1843 No. 22, antara lain isinya sebagai berikut:
a.       Lahan yang disediakan untuk tanaman wajib harus atas persetujuan penduduk.
b.      Tanah pertanian yang disediakan penduduk untuk tanaman wajib tidak boleh melebihi seperlima bagian.
c.       Pekerjaan yang diperlukan untuk menanam tanaman wajib tidak boleh melebihi waktu menanam padi.
d.      Tanah yang digunakan menanam tanaman wajib tidak melebihi luas lahan menanam padi.
e.       Tanaman wajib yang dihasilkan harus diberikan kepada pemerintah. Jika hasil yang diperoleh lebih dari yang ditaksir, lebihnya diserahkan kepada penduduk.
f.        Gagal panen ditanggung oleh pemeritah asal penyebabnya bukan karena kurang rajinnya penduduk.
g.      Penduduk desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala desa, sedangkan pegawai Eropa melakukan pengawasan terbatas agar penanaman dan panen berjalan baik dan tepat pada waktunya.
Jika diamati dari segi isi staatsblad tersebut, maka Sistem Tanam Paksa tidak begitu memberatkan pada penduduk.  Dampaknya cukup destruktif menjadikan rakyat miskin dan tidak teratur hidupnya. Fenomena ini diakibatkan oleh adanya penyimpangan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam staatsblad yang dilakukan oleh pemerintah Hindia Belanda. Penduduk lebih banyak mencurahkan perhatian, tenaga, dan waktunya untuk tanaman berkualitas ekspor, sehinga tidak dapat mengerjakan sawahnya dengan baik, bahkan dalam suatu waktu tidak dapat mengerjakan sawahnya sama sekali (Hermawati, 2013:66).
Penguasa memberlakukan Cultuur Procenten yaitu hadiah panen bagi para pejabat yang dapat menyerahkan hasil tanaman lebih banyak. Reaksi terhadap Sistem Tanam Paksa inilah yang melatarbelakangi pemerintah mengeluarkan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) pada tahun 1870. Dalam Agrarische Wet terdapat pernyataan bahwa “Semua tanah yang tidak terbukti memeiliki bukti hak milik (eigendom) adalah menjadi domain negara atau milik negara”.
Jadi inti pokok kebijakan cultuur stelsel adalah:
a.       Rakyat wajib menyediakan seperlima lahan garapannya untuk ditanami tanaman wajib (tanaman berkualitas ekspor).
b.      Lahan yang disediakan untuk tanaman wajib dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
c.       Hasil panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Kelebihan hasil panen dibayarkan kembali kepada rakyat.
d.      Tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib tidak boleh melebihi tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
e.       Mereka yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari setahun di perkebunan milik pemerintah.
f.        Penggarapan tanaman wajib di bawah pengawasan langsung penguasa pribumi. Pegawai-pegawai Belanda mengawasi jalannya penggarapan dan pengangkutan.
Kartodirdjo (1987:366) menjelaskan gambaran tentang derajat intensitas penyelenggaraan sistem tanam paksa menurut catatan tahun 1833 sebagai berikut.
  1. Gula: 32.722 bau
  2. Indigo: 23.141 bau
  3. Teh: 324 bau
  4. Tembakau: 286 bau
  5. Kayu manis: 30 bau
  6. Katun: 5 bau
Ditambah dengan luas tanah yang ditanami lada, nopal dan murbai seluruh areal yang dipergunakan sistem tanam paksa ada kira-kira 50.000 bau. Pada 1861 dari tanah rakyat yang dipergunakan sistem tanam paksa ada 53.159 bau.

2.4 Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap Bangsa Indonesia
Dampak negatif dari pelaksanaan tanam paksa:
a.         Waktu yang dibutuhkan dalam penggarapan budidaya tanaman ekspor seringkali mengganggu kegiatan penanaman padi. Persiapan lahan untuk tanaman kopi biasanya berbenturan dengan penanaman padi.
b.        Penggarapan tanaman ekspor seperti tebu membutuhkan air yang sangat besar sehingga memberatkan petani.
c.         Budidaya tebu dan nila menggunakan sebagian besar tanah sawah petani yan baik dan bernilai paling tinggi.
d.        Pelaksanaan sistem tanam paksa ini melipatgandakan kebutuhan akan hewan terak petani, tidak hanya untuk pekerjaan di ladang tetapi juga sebagai alat angkut hasil tanaman ekspor menuju pabrik atau pelabuhan.
e.         Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah penyakit dimana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon (1843). Demak (1849), dan Grobongan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah penduduk menurun drastis. Di sampng itu, juga terjadi penyakit busung lapar (hongorudim) dimana-mana (Sondarika, 2015:64).
Dampak positif dari pelaksanaan sistem tanam paksa:
a.         Rakyat Indonesia mengenal beragai teknik menanam jenis-jenis tanaman baru.
b.        Meningkatkan jumlah uang yang beredar di pedesaan, sehingga memberikan rangsangan bagi tumbuhnya perdagangan.
c.         Munculnya tenaga kerja yang ahli dalam kegiatan non pertanian yang terkait dengan perkebunan dan pepabrikan di pedesaan.
d.        Penyempurnaan fasilitas yang digunakan dalam proses tanam paksa, seperti jalan, jembatan, penyempurnaan fasilitas pelabuhan dan pabrik dan gudang  untuk hasil budidayanya (Sondarika, 2015:65).
Namun dampak positif dari adanya sistem tanam paksa tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan penderitaan yang dirasakan bangsa Indonesia. Kemiskinan, kesengsaraan dan kelaparan harus mereka tanggung. Ditambah lagi dengan beban pajak yang berat, panen yang gagal, dan kerja rodi yang semena-mena yang membawa penduduk bekerja di lahan-lahan Belanda semakin menambah penderitaan kaum pribumi. Banyak tanah pertanian yang terlantar karena tenaga penggarap harus bekerja di lahan-lahan milik Belanda, akibatnya gagal panen dan terjadi paceklik, kelaparan pun terjadi dimana-mana.
Dengan penyelenggaraan sistem tanam paksa, maka nyatalah usurpasi kekuasaan kolonial sampai di pedesaan dan merusak hak milik tanah menurut hukum adat setempat, karena tekanan dari atas maka milik kurang berarti dan tergeser menjadi hak guna. Dampak sistem tanam paksa pada masyarakat Indonesia yang sangat berpengaruh untuk jangka panjang pada struktur sosial ekonominya ialah bahwa sistem tanam paksa hanya merupakan suatu intensifikasi sistem produksi pre kapitalis sehingga tidak mampu menciptakan kekuatan-kekuatan ekonomis yang baik yang melahirkan pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan kapitalismenya. Sistem tanam paksa menciptakan usaha pertanian yang padat karya pada pihak pribumi serta usaha industri pertanian yang padat modal pada pihak pengusaha Eropa atau asing (Kartodirdjo, 1987:373). Apabila dilihat dari perjelasan tersebut, sistem tanam paksa membuat diskriminasi antara golongan penjajah dan yang dijajah.

2.5 Tokoh dalam Sistem Tanam Paksa
Dalam perkembangan politik Nederland pada kira-kira pertengahan abad ke-19 kaum borjuis memegang peranan penting, terutama dalam memberikan dasar hukum bagi suatu pemerintahan daerah jajahan. Perubahan perundang-undangan dasar pada 1848 membawa konsekuensi bahwa untuk pemerintahan Hindia Belanda persoalan pengawasan keuangannya perlu diatur menurut perundang-undangan. Sistem tanam paksa dijalankan berdasarkan Regerings Reglement dari van den bosch (1836) masih ada di bawah otoritas gubernur jenderal yang telah mendapat mandat dari Raja Belanda. Kecaman-kecaman yang tajam dari oposisi kolonial, yang dipelopori oleh Van Hoevell terhadap sistem tanam paksa dengan segala penyimpangan dan penyalahgunaannya, kemudian disusul oleh Douwes Dekker dengan Max Havelaar-nya mempercepat proses penghapusan sistem tanam paksa. Pembukaan tabir sistem tanam paksa tidak hanya dimaksud untuk mengungkapkan eksploitasi pribumi, baik tanah maupun tenaganya, tetapi juga agar tanah dan tenaga itu dibebaskan dan dengan demikian pengusaha swasta dapat menggunakannya (Kartodirdjo, 1987:376). Douwes Dekker, membentangkan kekejaman-kekejaman sistem tanam paksa dalam bukunya sedangkan Van Hovell membela kepentingan penduduk pribumi tanpa mencela sistem eksploitasi di daerah-daerah jajahan untuk kepentingan negeri induk. Dua tokoh ini berjasa sekali di dalam menarik perhatian umum terhadap persoalan-persoalan kolonial. Tulisan populer mereka memang meratakan jalan, tetapi kemenangan harus diperjuangkan melalui saluran parlementer. Perjuangan yang terus-menerus inilah yang berlangsung selama masa sepuluh tahun berikutnya (Kartodirdjo, 1990:16).

2.6 Penyebab Runtuhnya Hindia Belanda
            Pada tanggal 7 Desember 1941 tentara Jepang secara mendadak mengadakan serangan terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbour, Hawai. Lima jam setelah peristiwa itu, pemerintah Hindia Beanda mengumumkan perang kepada Jepang. Guna mengantisipasi serangan Jepang, negara-negara sekutu di Asia Tenggara membentuk komando gabungan dengan nama Abdacom (American, British, Dutch, Australian, Command). Markas besar Abdacom berada di Lembang (Jawa Barat), sedangkan markas besar Angkatan Lautnya di Surabaya.
Dalam serangannya terhadap sekutu di Laut Cina Selatan, kapal Inggris Prince of Wales dan Repulse berhasil ditenggelamkan oleh 50 pengebom berani mati Jepang. Akhirnya, setelah peristiwa itu Abdacom berantakan. Komandan tertinggi, Sir Archibald Wavell, akhirnya terpaksa meninggalkan Indonesia karena sudah tidak bisa dipertahankan lagi, sehingga menyingkir ke India utuk mempertahanka India. Dalam serangannya ke Indonesia, tentara Jepang memperoleh kemajuan yang sangat cepat (Sudirman, 2014:276).
Sudirman (2014:277) menjelaskan faktor utama menjadi penyebab  runtuhnya Hindia Belanda adalah:
a.       Perundingan yang gagal
Sebelum serbuan Jepang pada bulan Februari 1940, Duta Besar Jepang di Den Haag mengajukan sebuah tuntutan kepada pihak Belanda. Permintaan itu meliputi perdagangan Jepang dan Hindia Belanda harus ditingkatkan. Selain itu, Jepang menghendaki minyak mentak dan bauksit lebih banyak lagi. Sebab, Jepang belum membuat kesepakatan dengan perusahan eksplorasi tambang sebelumnya, sehingga tuntutan Jepang lainnya ditolak. Namun, Jepang tidak menyerah. Perundingan itu berlangsung selama berbulan-bulan.
b.      Perang Hindia Belanda dan Jepang
Sasaran utama serbuan Jepang di Hindia Belanda adalah pengeboran minyak di Tarakan, Balikpapan, dan Palembang. Gerakan maju itu dimungkinkan setelah pertahanan Hindia Belanda di utara Pulau Sulawesi berhasil dilumpuhkan pada tanggal 26 Desember 1941. Kehancuran instansi pengeboran minyak di Tarakan menjadi masalah besar bagi Jepang. Untuk memastikan agar tindakan itu tidak terjadi, dua orang perwira Belanda dikirim ke Balikpapan dengan pesan peringatan bahwa seluruh prajurit dan kalangan sipil akan dibunuh jika Jepang tidak memperoleh instansi pertambangan di kota itu dalam keadaan utuh. Sasaran selanjutnya adalah Palembang, sumber minyak mentah yang menghasilkan setengah produksi seluruh Hindia Belanda. Jepang berusaha mencegah sabotase dengan cara melancarkan serangn mendadak pasukan komando.

BAB III
PENUTUP

3.1 Simpulan
Sistem Tanam Paksa merupakan sistem yang dilakukan bangsa Belanda terhadap Indonesia yang bertujuan untuk mengisi kas pemerintahan Belanda yang kosong. Sebenarnya pada masa tersebut sebutan tanam paksa tidak dikenal oleh masyarakat pribumi, hal ini dikarenakan pada awal mulanya pemerintahan Belanda menyebut sistem yang diterapkan di wilayah Indonesia dengan sebutan dan baru pada tahun-tahun berikutnya sejarawan Indonesia menyebutnya dengan sistem tanam paksa. Sebutan ini diberikan karena bentuk kebijakan yang diberikan oleh pemerintahan Belanda terhadap masyarakat pribumi atas dasar paksaan. Sehingga menyebabkan masyarakat pribumi sengsara, kelaparan serta kemiskinan.

3.2 Saran
Masyarakat Indonesia harus berhati-hati terhadap masyarakat Internasional. Masyarakat harus pandai-pandai menyaring apa yang baik dan apa yang buruk bagi bangsa Indonesia. Terutama pemuda-pemudi Indonesia harus selalu menjaga dan mempertahankan Indonesia jangan sampai Indonesia terjajah lagi oleh negara lain, apalagi sampai mengalami hal yang serupa (sistem tanam paksa) serta perlunya pemerintah untuk menjaga bangsa Indonesia.


Sejarah Kopi di Indonesia

Kopi dibawa ke Hindia-Belanda pada 1669, namun bibit kopi pertama ini punah karena kiriman kopi yang dikirim, terkena bencana banjir di Batavia. Kiriman kopi selanjutnya tiba pada 1699 dan menjadi sumber bagi segala kopi yang tumbuh di Jawa dan di bagian-bagian lain kepulauan Nusantara sampai abad ke-21. Mengenai kedatangan biji kopi ke Hindia-Belanda ini, dilakukan dengan cara diselundupkan oleh seorang pria bernama Pieter van de Brooke, pedagang berkebangsaan Belanda dari pusat perdagangan kopi yang saat itu terletak di Mocha (Yaman).
Ia membawanya ke Amsterdam Botanical Garden untuk diteliti lebih lanjut. VOC lalu mengembangkannya di Sri Lanka dan India. Budidaya kopi pun mengalami perkembangan pesat, terutama semenjak diberlakukannya kebijakan Preanger Stelsel yang dimulai pada 1720 di Jawa Barat atau di Priangan. Dalam pembudidayaan kopi di Priangan, para petani harus membuka hutan, menanam kopi, memelihara kebun kopi, hingga kopi tersebut panen. Sistem ini mengabaikan kepentingan petani dalam menghasilkan padi sebagai makanan pokok. Indonesia adalah tempat pertama kali kopi dibudidayakan secara luas di luar Arab dan Ethiopia. Hingga akhirnya, VOC mampu memonopoli perdagangan kopi dari tahun 1725 sampai 1780. Pembudidayaan kopi di Indonesia pun terus berlanjut, meski VOC mengalami kebangkrutan pada 1799. Ketika Pemerintah Hindia-Belanda memegang kekuasaan pada awal abad ke-19, kopi tetap menjadi komoditi penting yang dipertahankan.
Pada 1830, berlakulah sistem tanam baru yang dinamakan Culturstelsel atau Sistem Tanam Paksa. Pada periode Tanam Paksa, tanaman kopi yang dipertahankan sebagai cara utama menanam atas perintah yang berwajib, diperluas sampai ke seluruh Jawa (terutama Jawa Tengah dan Timur, yang meliputi Semarang, Sala, Kedu, Besuki, dan Malang) dan juga di pulau-pulau lain, seperti di Palembang, Sumatera Barat, Sumatera Timur, dan Lampung. Pada 1833, panen kopi yang dihasilkan rakyat wajib diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah, adapun kelebihan hasil panen dan hasil yang terkena pajak hanya dijual kepada pemerintah dengan harga yang ditentukan sendiri oleh pemerintah. Peraturan tersebut memberatkan petani pribumi karena lahan yang harus ditanami mencapai setengah sampai seperlima dari lahan milik petani, bahkan kadang melebihi kapasitas lahan.
Ketika pada tahun 1850-an dan 1860-an sebagian besar wajib tanam kopi dan monopoli lambat laun dihapuskan, tanam paksa kopi tetap dilaksanakan walaupun dalam bentuk yang lebih lunak. Komoditi kopi pun sempat mengalami penurunan ketika pada 1880-an terjadi hama atau penyakit daun kopi. Hama tersebut menyerang pada perkebunan di daratan rendah. Sementara tanaman kopi di daratan tinggi, terutama di ketinggian 1.000-1.700 meter dapat bertahan.
Setelah masa penurunan akibat hama penyakit daun, secara sistematis penanaman kopi atas perintah yang berwajib, dalam hal ini pemerintah, makin dikendorkan. Walaupun demikian, penanaman kopi saat itu sudah menyebar luas ke pulau-pulau di luar Jawa. Pemerintah Hindia-Belanda sempat mencoba membudidayakan kopi melalui sejenis tanam paksa di luar pulau Jawa, namun usaha tersebut tidak berhasil. Memasuki awal abad ke-20, pemerintah Hindia-Belanda akhirnya melepaskan usaha penanaman paksa kopi di pulau-pulau selain Jawa, dari titik inilah di daerah seperti Sumetera, perkebunan-perkebunan rakyat mulai berkembang pesat. Kondisi perkembangan kopi pun menjadi berbalik; di Pulau Jawa hanya beberapa distrik di Jawa Barat dan Timur yang mempertahankan penanaman kopi sesudah tanam paksa dihapuskan, sementara itu di Sumatera, perkebunan kopi justru tumbuh pesat (Cerita Indnoesia).

DAFTAR PUSTAKA

Hermawati, Mifta. 2013. Tanam Paksa sebagai Tindakan Eksploitasi. (Online),
g), di akses tanggal 3 Februari 2016.

Kartodirdjo, Sartono. 1987. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: 1500-1900 Dari
Emporium Sampai Imperium. Yogyakarta: Ombak.

Kartodirdjo, Sartono. 1990. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan Nasional. Jakarta: PT Gramedia

Sondarika, Wulan. 2015. Dampak Tanam Paksa bagi Masyarakat Indonesia,
(Online),
Wulan%20Sondarika.pdf),  di akses tanggal 3 Februari 2016

Sudirman, Adi. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia. Yogyakarta: Diva Press.

Wahyudin, Dedy. 2015. Sejarah dan Latar Belakang Tanam Paksa, (Online),
paksa.html), di akses tanggal 3 Februari 2016

Zulkarnain. 2010. Sejarah Sosial Ekonomi, (Online),
Februari 2016

________. 2014. Sejarah Kopi di Indonesia, (Online),
akses tanggal 4 Februari 2016