BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan
negara yang kaya akan sumber daya alam. Selain kaya akan sumber daya alamnya,
masyarakat Indonesia juga bersifat ramah-tamah. Negara lain menjadi memiliki
keinginan untuk menguasai Indonesia karena keadaan Indonesia yang seperti itu,
sehingga terjadinya kolonialisme.
Era kolonial di Indonesia ditandai dengan
masuknya Barat (Eropa) ke Indonesia untuk mengeksploitasi bangsa Indonesia,
baik aspek sumber daya alamnya maupun sumber daya manusianya. Dalam sejarahnya,
usaha bangsa Barat untuk mendapatkan benua baru dipelopori oleh bangsa Portugis
dan Spanyol yang ingin mendapatkan rempah-rempah. Selain keduanya, pada tahun
1596, pedagang Belanda dengan empat buah kapal berlabuh di Banten. Mereka
mencari rempah-rempah disana dan daerah sekitarnya untuk diperdagangkan
(Sudirman, 2014:217). Keberadaan Belanda di Indonesia memang cukup lama, tak heran
jika banyak kebijakan dan peristiwa penting yang melibatkan interaksi rakyat
nusantara dengan pemerintahan Belanda. Kebijakan-kebijakan yang bangsa Belanda
terhadap bangsa Indonesia memberikan dampak yang tidak bagus untuk bangsa
Indonesia. Dengan adanya kebijakan tersebut bangsa Indonesia mengalami
kelaparan, kemiskinan bahkan penderitaan yang sangat dalam. Salah satu peristiwa
yang tak mungkin dilupakan adalah kebijakan pemerintah Belanda yang menerapkan
sistem tanam paksa. Rakyat Indonesia sangat sengsara dengan adanya kebijakan
tersebut, karena rakyat Indonesia harus bekerja tanpa diberi upah. Oleh sebab
itu, maka dibuatnya makalah ini agar dapat menambah pengetahuan tentang sistem
tanam paksa di Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
a.
Bagaimana sejarah kedatangan Belanda ke
Indonesia?
b.
Bagaimana latar belakang adanya sistem
tanam paksa di Indonesia?
c. Bagaimana
dampak sistem tanam paksa terhadap bangsa Indonesia?
1.3 Tujuan
a.
Untuk menjelaskan sejarah kedatangan
Belanda ke Indonesia
b.
Untuk menjelaskan latar belakang adanya
sistem tanam paksa di Indonesia
c.
Untuk menjelaskan dampak sistem tanam
paksa terhadap bangsa Indonesia
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Sejarah
Kedatangan Belanda
Pada tahun 1596, pedagang Belanda
dengan empat buah kapal di bawah Cornelius de Houtman berlabuh di Banten.
Mereka mencari rempah-rempah disana dan daerah sekitarnya untuk diperdagangkan
di Eropa. Namun, karena kekerasan dan kurang menghormati rakyat, maka mereka
diusir dari Banten. Kemudian, pada tahun 1598 pedagang Belanda datang kembali
ke Indonesia di bawah Van Verre dengan delapan kapal dipimpin Van Neck, Jacob
van Heemkerck datang di Banten dan diterima oleh Sultan Banten Abdulmufakir
dengan baik. Sejak itulah, terjadi hubungan perdagangan dengan pihak Belanda
sehingga berkembang pesat perdagangan Belanda di Indonesia. Namun, tujuan
dagang tersebut berubah. Belanda ingin berkuasa sebagai penjajah yang kejam dan
sewenag-wenang, melakukan monopoli perdagangan, imperialisme ekonomi dan
perluasan kekuasaan (Sudirman, 2014:217).
2.2
Latar Belakang
Faktor utama
diberlakukannya sistem tanam paksa di Indonesia adalah adanya kesulitan keuangan
yang dialami oleh Pemerintah Belanda. Pengeluaran Belanda digunakan untuk membiayai
keperluan militer sebagai akibat Perang Belgia pada tahun 1830 di Negeri
Belanda dan Perang Jawa atau Perang Diponegoro (1825-1830) di Indonesia. Perang
Belgia berakhir dengan kemerdekaan Belgia (memisahkan diri dari Belanda) dan
menyebabkan keuangan Belanda memburuk. Perang Diponegoro merupakan perang
termahal bagi pihak Belanda dalam menghadapi perlawanan dari pihak pribumi
yaitu sekitar 20 juta gulden. Usaha untuk menyelamatkan keuangan Belanda sebenarnya
sudah dilakukan sejak masa pemerintahan Van der Capellen (1819-1825). Van der
Capellen menerapkan suatu kebijakan yang menjamin orang Jawa untuk menggunakan
dan memetik hasil tanah mereka secara bebas. Kebijakan yang ditempuh saat itu
diharapkan dapat mendorong orang Jawa untuk menghasilkan produk yang dapat
dijual sehingga lebih memudahkan mereka membayar sewa tanah. Kebijakan ini
menemui kegagalan karena pengeluaran tambahan akibat Perang Jawa dan merosotnya
harga komoditi pertanian tropis di dunia. Selama Perang Jawa berlangsung, pihak
Belanda memikirkan berbagai rencana untuk memperoleh keuntungan besar dari
koloni-koloninya terutama Pulau Jawa. Pada tahun 1829 Johannes Van den Bosch
menyampaikan kepada Raja Belanda usulan-usulan yang kelak disebut culturstelsel.
Van den Bosch ingin menjadikan Jawa sebagai aset yang menguntungkan tanah air
dalam tempo sesingkat mungkin dengan menghasilkan komoditi pertanian tropis,
terutama kopi, gula, dan nila (indigo), dengan harga murah sehingga dapat
bersaing dengan produk serupa dari belahan dunia lain. Van den Bosch
menyarankan sebuah sistem yang dia klaim lebih sesuai dengan tradisi orang
Jawa, yang didasarkan atas penanaman dan penyerahan secara paksa hasil bumi
(forced cultivation) kepada pemerintah. Raja menyetuji usulan-usulan tersebut,
dan pada bulan Januari 1830 Van den Bosch tiba di Jawa sebagai Gubernur
Jenderal yang baru (Zulkarnain, 2010:3). Kebijakan cultuur stelsel ini
berdasarkan pada asumsi bahwa desa di Jawa berutang kepada pemerintah. Utang
itu diukur senilai 40% dari hasil panen desa yang bersangkutan. Tanaman itu
antara lain nila, kopi, tembakau, teh, tebu dan kakao (Sudirman, 2014:267).
Gubernur Jendral Van den
Bosch mendapat izin khusus melaksanakan sistem tanam paksa dengan tujuan
utamanya yaitu untuk mengisi kas pemerintahan Belanda yang kosong, Gubernur
Jendral Van den Bosch membuat peraturan yang mewajibkan rakyat untuk
menyerahkan landrento (Wahyudin, 2015). Sebenarnya pada masa
tersebut sebutan tanam paksa tidak dikenal oleh masyarakat pribumi, hal ini
dikarenakan pada awal mulanya pemerintahan Belanda menyebut sistem yang
diterapkan di wilayah Indonesia dengan sebutan Cultuurstelsel atau bisa juga
disebut dengan sistem kultivasi dan baru pada tahun-tahun berikutnya sejarawan
Indonesia menyebutnya dengan sistem tanam paksa. Sebutan ini diberikan
karena bentuk kebijakan yang diberikan oleh pemerintahan Belanda terhadap
masyarakat pribumi atas dasar paksaan.
Pada tahun 1854, dikeuarkan Regerings Regelment (RR). Salah satu
pasalnya menyebutkan bahwa Gubernur Jenderal boleh menyewakan tanah dengan
ketentuan yang akan ditetapkan ordonansi. Kelompok liberal yang berperan
sebagai pengusaha dan pemilik modal berada di belakang keluarnya undang-undang
tersebut. Tujuannya agar pemerintah memberikan pengakuan terhadap penguasaan
tanah oleh pribumi sebagai hak milik mutlak (eigendom). Dengan demikian,
dimungkinkan terjadinya penjualan tanah dan penyewaannya karena tanah adat dan
kas desa tidak dapat diperjualbelikan atau disewakan. Selain tujuan tersebut,
pemerintah memberikan kesempatan kepada pengusaha swasta untuk dapat menyewa
tanah jangka panjang dan murah (Sudirman, 2014:267).
2.3
Ketentuan Pokok Sistem Tanam Paksa
Sudirman (2014:267-268) menjelaskan
ketentuan Sistem Tanam Paksa yang terdapat dalam Lembaran Negara (Staatsblad)
tahun 1843 No. 22, antara lain isinya sebagai berikut:
a. Lahan
yang disediakan untuk tanaman wajib harus atas persetujuan penduduk.
b. Tanah
pertanian yang disediakan penduduk untuk tanaman wajib tidak boleh melebihi
seperlima bagian.
c. Pekerjaan
yang diperlukan untuk menanam tanaman wajib tidak boleh melebihi waktu menanam
padi.
d. Tanah
yang digunakan menanam tanaman wajib tidak melebihi luas lahan menanam padi.
e. Tanaman
wajib yang dihasilkan harus diberikan kepada pemerintah. Jika hasil yang
diperoleh lebih dari yang ditaksir, lebihnya diserahkan kepada penduduk.
f.
Gagal panen ditanggung oleh pemeritah asal
penyebabnya bukan karena kurang rajinnya penduduk.
g. Penduduk
desa mengerjakan tanah-tanah mereka dibawah pengawasan kepala desa, sedangkan
pegawai Eropa melakukan pengawasan terbatas agar penanaman dan panen berjalan
baik dan tepat pada waktunya.
Jika diamati dari segi
isi staatsblad tersebut, maka Sistem Tanam Paksa tidak begitu memberatkan pada
penduduk. Dampaknya cukup destruktif menjadikan
rakyat miskin dan tidak teratur hidupnya. Fenomena ini diakibatkan oleh adanya
penyimpangan ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam staatsblad yang dilakukan
oleh pemerintah Hindia Belanda. Penduduk lebih banyak mencurahkan perhatian,
tenaga, dan waktunya untuk tanaman berkualitas ekspor, sehinga tidak dapat
mengerjakan sawahnya dengan baik, bahkan dalam suatu waktu tidak dapat
mengerjakan sawahnya sama sekali (Hermawati, 2013:66).
Penguasa memberlakukan Cultuur Procenten yaitu hadiah panen
bagi para pejabat yang dapat menyerahkan hasil tanaman lebih banyak. Reaksi
terhadap Sistem Tanam Paksa inilah yang melatarbelakangi pemerintah
mengeluarkan Agrarische Wet (Undang-Undang Agraria) pada tahun 1870. Dalam
Agrarische Wet terdapat pernyataan bahwa “Semua tanah yang tidak terbukti
memeiliki bukti hak milik (eigendom)
adalah menjadi domain negara atau milik negara”.
Jadi inti pokok kebijakan
cultuur stelsel adalah:
a. Rakyat
wajib menyediakan seperlima lahan garapannya untuk ditanami tanaman wajib
(tanaman berkualitas ekspor).
b. Lahan
yang disediakan untuk tanaman wajib dibebaskan dari pembayaran pajak tanah.
c. Hasil
panen diserahkan kepada pemerintah kolonial. Kelebihan hasil panen dibayarkan
kembali kepada rakyat.
d. Tenaga
dan waktu yang diperlukan untuk menggarap tanaman wajib tidak boleh melebihi
tenaga dan waktu yang diperlukan untuk menanam padi.
e. Mereka
yang tidak memiliki tanah wajib bekerja selama 66 hari setahun di perkebunan
milik pemerintah.
f.
Penggarapan tanaman wajib di bawah
pengawasan langsung penguasa pribumi. Pegawai-pegawai Belanda mengawasi
jalannya penggarapan dan pengangkutan.
Kartodirdjo (1987:366)
menjelaskan gambaran tentang derajat intensitas penyelenggaraan sistem tanam
paksa menurut catatan tahun 1833 sebagai berikut.
- Gula: 32.722 bau
- Indigo: 23.141 bau
- Teh: 324 bau
- Tembakau: 286 bau
- Kayu manis: 30 bau
- Katun: 5 bau
Ditambah dengan luas tanah yang ditanami
lada, nopal dan murbai seluruh areal yang dipergunakan sistem tanam paksa ada
kira-kira 50.000 bau. Pada 1861 dari tanah rakyat yang dipergunakan sistem
tanam paksa ada 53.159 bau.
2.4
Dampak Sistem Tanam Paksa terhadap Bangsa Indonesia
Dampak negatif
dari pelaksanaan tanam paksa:
a.
Waktu yang dibutuhkan dalam penggarapan
budidaya tanaman ekspor seringkali mengganggu kegiatan penanaman padi. Persiapan
lahan untuk tanaman kopi biasanya berbenturan dengan penanaman padi.
b.
Penggarapan tanaman ekspor seperti tebu
membutuhkan air yang sangat besar sehingga memberatkan petani.
c.
Budidaya tebu dan nila menggunakan
sebagian besar tanah sawah petani yan baik dan bernilai paling tinggi.
d.
Pelaksanaan sistem tanam paksa ini
melipatgandakan kebutuhan akan hewan terak petani, tidak hanya untuk pekerjaan
di ladang tetapi juga sebagai alat angkut hasil tanaman ekspor menuju pabrik
atau pelabuhan.
e.
Timbulnya bahaya kelaparan dan wabah
penyakit dimana-mana sehingga angka kematian meningkat drastis. Bahaya
kelaparan menimbulkan korban jiwa yang sangat mengerikan di daerah Cirebon
(1843). Demak (1849), dan Grobongan (1850). Kejadian ini mengakibatkan jumlah
penduduk menurun drastis. Di sampng itu, juga terjadi penyakit busung lapar
(hongorudim) dimana-mana (Sondarika, 2015:64).
Dampak positif
dari pelaksanaan sistem tanam paksa:
a.
Rakyat Indonesia mengenal beragai teknik
menanam jenis-jenis tanaman baru.
b.
Meningkatkan jumlah uang yang beredar di
pedesaan, sehingga memberikan rangsangan bagi tumbuhnya perdagangan.
c.
Munculnya tenaga kerja yang ahli dalam
kegiatan non pertanian yang terkait dengan perkebunan dan pepabrikan di
pedesaan.
d.
Penyempurnaan fasilitas yang digunakan
dalam proses tanam paksa, seperti jalan, jembatan, penyempurnaan fasilitas
pelabuhan dan pabrik dan gudang untuk
hasil budidayanya (Sondarika, 2015:65).
Namun dampak positif dari
adanya sistem tanam paksa tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan
penderitaan yang dirasakan bangsa Indonesia. Kemiskinan, kesengsaraan dan
kelaparan harus mereka tanggung. Ditambah lagi dengan beban pajak yang berat,
panen yang gagal, dan kerja rodi yang semena-mena yang membawa penduduk bekerja
di lahan-lahan Belanda semakin menambah penderitaan kaum pribumi. Banyak tanah
pertanian yang terlantar karena tenaga penggarap harus bekerja di lahan-lahan
milik Belanda, akibatnya gagal panen dan terjadi paceklik, kelaparan pun
terjadi dimana-mana.
Dengan penyelenggaraan
sistem tanam paksa, maka nyatalah usurpasi kekuasaan kolonial sampai di
pedesaan dan merusak hak milik tanah menurut hukum adat setempat, karena
tekanan dari atas maka milik kurang berarti dan tergeser menjadi hak guna.
Dampak sistem tanam paksa pada masyarakat Indonesia yang sangat berpengaruh
untuk jangka panjang pada struktur sosial ekonominya ialah bahwa sistem tanam
paksa hanya merupakan suatu intensifikasi sistem produksi pre kapitalis
sehingga tidak mampu menciptakan kekuatan-kekuatan ekonomis yang baik yang
melahirkan pertumbuhan ekonomi dengan perkembangan kapitalismenya. Sistem tanam
paksa menciptakan usaha pertanian yang padat karya pada pihak pribumi serta
usaha industri pertanian yang padat modal pada pihak pengusaha Eropa atau asing
(Kartodirdjo, 1987:373). Apabila dilihat dari perjelasan tersebut, sistem tanam
paksa membuat diskriminasi antara golongan penjajah dan yang dijajah.
2.5
Tokoh dalam Sistem Tanam Paksa
Dalam perkembangan politik
Nederland pada kira-kira pertengahan abad ke-19 kaum borjuis memegang peranan
penting, terutama dalam memberikan dasar hukum bagi suatu pemerintahan daerah
jajahan. Perubahan perundang-undangan dasar pada 1848 membawa konsekuensi bahwa
untuk pemerintahan Hindia Belanda persoalan pengawasan keuangannya perlu diatur
menurut perundang-undangan. Sistem tanam paksa dijalankan berdasarkan Regerings
Reglement dari van den bosch (1836) masih ada di bawah otoritas gubernur
jenderal yang telah mendapat mandat dari Raja Belanda. Kecaman-kecaman yang
tajam dari oposisi kolonial, yang dipelopori oleh Van Hoevell terhadap sistem
tanam paksa dengan segala penyimpangan dan penyalahgunaannya, kemudian disusul
oleh Douwes Dekker dengan Max Havelaar-nya mempercepat proses penghapusan
sistem tanam paksa. Pembukaan tabir sistem tanam paksa tidak hanya dimaksud
untuk mengungkapkan eksploitasi pribumi, baik tanah maupun tenaganya, tetapi
juga agar tanah dan tenaga itu dibebaskan dan dengan demikian pengusaha swasta
dapat menggunakannya (Kartodirdjo, 1987:376). Douwes Dekker, membentangkan
kekejaman-kekejaman sistem tanam paksa dalam bukunya sedangkan Van Hovell
membela kepentingan penduduk pribumi tanpa mencela sistem eksploitasi di
daerah-daerah jajahan untuk kepentingan negeri induk. Dua tokoh ini berjasa
sekali di dalam menarik perhatian umum terhadap persoalan-persoalan kolonial.
Tulisan populer mereka memang meratakan jalan, tetapi kemenangan harus
diperjuangkan melalui saluran parlementer. Perjuangan yang terus-menerus inilah
yang berlangsung selama masa sepuluh tahun berikutnya (Kartodirdjo, 1990:16).
2.6
Penyebab Runtuhnya Hindia Belanda
Pada
tanggal 7 Desember 1941 tentara Jepang secara mendadak mengadakan serangan
terhadap pangkalan Angkatan Laut Amerika di Pearl Harbour, Hawai. Lima jam
setelah peristiwa itu, pemerintah Hindia Beanda mengumumkan perang kepada
Jepang. Guna mengantisipasi serangan Jepang, negara-negara sekutu di Asia
Tenggara membentuk komando gabungan dengan nama Abdacom (American, British,
Dutch, Australian, Command). Markas besar Abdacom berada di Lembang (Jawa
Barat), sedangkan markas besar Angkatan Lautnya di Surabaya.
Dalam serangannya
terhadap sekutu di Laut Cina Selatan, kapal Inggris Prince of Wales dan Repulse
berhasil ditenggelamkan oleh 50 pengebom berani mati Jepang. Akhirnya, setelah
peristiwa itu Abdacom berantakan. Komandan tertinggi, Sir Archibald Wavell,
akhirnya terpaksa meninggalkan Indonesia karena sudah tidak bisa dipertahankan
lagi, sehingga menyingkir ke India utuk mempertahanka India. Dalam serangannya
ke Indonesia, tentara Jepang memperoleh kemajuan yang sangat cepat (Sudirman,
2014:276).
Sudirman (2014:277) menjelaskan faktor
utama menjadi penyebab runtuhnya Hindia
Belanda adalah:
a. Perundingan
yang gagal
Sebelum serbuan Jepang
pada bulan Februari 1940, Duta Besar Jepang di Den Haag mengajukan sebuah tuntutan
kepada pihak Belanda. Permintaan itu meliputi perdagangan Jepang dan Hindia
Belanda harus ditingkatkan. Selain itu, Jepang menghendaki minyak mentak dan bauksit lebih banyak lagi. Sebab, Jepang belum membuat kesepakatan
dengan perusahan eksplorasi tambang sebelumnya, sehingga tuntutan Jepang
lainnya ditolak. Namun, Jepang tidak menyerah. Perundingan itu berlangsung
selama berbulan-bulan.
b. Perang
Hindia Belanda dan Jepang
Sasaran utama serbuan
Jepang di Hindia Belanda adalah pengeboran minyak di Tarakan, Balikpapan, dan
Palembang. Gerakan maju itu dimungkinkan setelah pertahanan Hindia Belanda di
utara Pulau Sulawesi berhasil dilumpuhkan pada tanggal 26 Desember 1941.
Kehancuran instansi pengeboran minyak di Tarakan menjadi masalah besar bagi
Jepang. Untuk memastikan agar tindakan itu tidak terjadi, dua orang perwira
Belanda dikirim ke Balikpapan dengan pesan peringatan bahwa seluruh prajurit
dan kalangan sipil akan dibunuh jika Jepang tidak memperoleh instansi
pertambangan di kota itu dalam keadaan utuh. Sasaran selanjutnya adalah
Palembang, sumber minyak mentah yang menghasilkan setengah produksi seluruh
Hindia Belanda. Jepang berusaha mencegah sabotase dengan cara melancarkan
serangn mendadak pasukan komando.
BAB
III
PENUTUP
3.1 Simpulan
Sistem Tanam Paksa
merupakan sistem yang dilakukan bangsa Belanda terhadap Indonesia yang
bertujuan untuk mengisi kas pemerintahan Belanda yang kosong. Sebenarnya pada masa
tersebut sebutan tanam paksa tidak dikenal oleh masyarakat pribumi, hal ini
dikarenakan pada awal mulanya pemerintahan Belanda menyebut sistem yang
diterapkan di wilayah Indonesia dengan sebutan dan baru pada tahun-tahun
berikutnya sejarawan Indonesia menyebutnya dengan sistem tanam paksa. Sebutan ini diberikan karena bentuk
kebijakan yang diberikan oleh pemerintahan Belanda terhadap masyarakat pribumi
atas dasar paksaan. Sehingga menyebabkan masyarakat pribumi sengsara, kelaparan
serta kemiskinan.
3.2 Saran
Masyarakat Indonesia
harus berhati-hati terhadap masyarakat Internasional. Masyarakat harus
pandai-pandai menyaring apa yang baik dan apa yang buruk bagi bangsa Indonesia.
Terutama pemuda-pemudi Indonesia harus selalu menjaga dan mempertahankan
Indonesia jangan sampai Indonesia terjajah lagi oleh negara lain, apalagi
sampai mengalami hal yang serupa (sistem tanam paksa) serta perlunya pemerintah
untuk menjaga bangsa Indonesia.
Sejarah
Kopi di Indonesia
Kopi dibawa ke Hindia-Belanda pada 1669, namun bibit kopi
pertama ini punah karena kiriman kopi yang dikirim, terkena bencana banjir di
Batavia. Kiriman kopi selanjutnya tiba pada 1699 dan menjadi sumber bagi
segala kopi yang tumbuh di Jawa dan di bagian-bagian lain kepulauan Nusantara
sampai abad ke-21. Mengenai kedatangan biji kopi ke Hindia-Belanda ini,
dilakukan dengan cara diselundupkan oleh seorang pria bernama Pieter van de
Brooke, pedagang berkebangsaan Belanda dari pusat perdagangan kopi yang saat
itu terletak di Mocha (Yaman).
Ia
membawanya ke Amsterdam Botanical Garden untuk diteliti lebih lanjut. VOC lalu
mengembangkannya di Sri Lanka dan India. Budidaya kopi pun mengalami
perkembangan pesat, terutama semenjak diberlakukannya kebijakan Preanger
Stelsel yang dimulai pada 1720 di Jawa Barat atau di Priangan. Dalam
pembudidayaan kopi di Priangan, para petani harus membuka hutan, menanam kopi,
memelihara kebun kopi, hingga kopi tersebut panen. Sistem ini mengabaikan
kepentingan petani dalam menghasilkan padi sebagai makanan pokok. Indonesia
adalah tempat pertama kali kopi dibudidayakan secara luas di luar Arab dan
Ethiopia. Hingga akhirnya, VOC mampu memonopoli perdagangan kopi dari tahun
1725 sampai 1780. Pembudidayaan kopi di Indonesia pun terus berlanjut, meski
VOC mengalami kebangkrutan pada 1799. Ketika Pemerintah Hindia-Belanda memegang
kekuasaan pada awal abad ke-19, kopi tetap menjadi komoditi penting yang
dipertahankan.
Pada
1830, berlakulah sistem tanam baru yang dinamakan Culturstelsel atau Sistem
Tanam Paksa. Pada periode Tanam Paksa, tanaman kopi yang dipertahankan sebagai
cara utama menanam atas perintah yang berwajib, diperluas sampai ke seluruh
Jawa (terutama Jawa Tengah dan Timur, yang meliputi Semarang, Sala, Kedu,
Besuki, dan Malang) dan juga di pulau-pulau lain, seperti di Palembang,
Sumatera Barat, Sumatera Timur, dan Lampung. Pada 1833, panen kopi yang
dihasilkan rakyat wajib diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah, adapun
kelebihan hasil panen dan hasil yang terkena pajak hanya dijual kepada
pemerintah dengan harga yang ditentukan sendiri oleh pemerintah. Peraturan
tersebut memberatkan petani pribumi karena lahan yang harus ditanami mencapai
setengah sampai seperlima dari lahan milik petani, bahkan kadang melebihi
kapasitas lahan.
Ketika
pada tahun 1850-an dan 1860-an sebagian besar wajib tanam kopi dan monopoli
lambat laun dihapuskan, tanam paksa kopi tetap dilaksanakan walaupun dalam
bentuk yang lebih lunak. Komoditi kopi pun sempat mengalami penurunan ketika
pada 1880-an terjadi hama atau penyakit daun kopi. Hama tersebut menyerang
pada perkebunan di daratan rendah. Sementara tanaman kopi di daratan tinggi,
terutama di ketinggian 1.000-1.700 meter dapat bertahan.
Setelah
masa penurunan akibat hama penyakit daun, secara sistematis penanaman kopi atas
perintah yang berwajib, dalam hal ini pemerintah, makin dikendorkan. Walaupun
demikian, penanaman kopi saat itu sudah menyebar luas ke pulau-pulau di luar
Jawa. Pemerintah Hindia-Belanda sempat mencoba membudidayakan kopi melalui
sejenis tanam paksa di luar pulau Jawa, namun usaha tersebut tidak
berhasil. Memasuki awal abad ke-20, pemerintah Hindia-Belanda akhirnya
melepaskan usaha penanaman paksa kopi di pulau-pulau selain Jawa, dari titik
inilah di daerah seperti Sumetera, perkebunan-perkebunan rakyat mulai
berkembang pesat. Kondisi perkembangan kopi pun menjadi berbalik; di Pulau Jawa
hanya beberapa distrik di Jawa Barat dan Timur yang mempertahankan penanaman
kopi sesudah tanam paksa dihapuskan, sementara itu di Sumatera, perkebunan kopi
justru tumbuh pesat (Cerita Indnoesia).
DAFTAR
PUSTAKA
Hermawati,
Mifta. 2013. Tanam Paksa sebagai Tindakan
Eksploitasi. (Online),
Kartodirdjo,
Sartono. 1987. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: 1500-1900 Dari
Emporium
Sampai Imperium. Yogyakarta: Ombak.
Kartodirdjo,
Sartono. 1990. Pengantar Sejarah
Indonesia Baru: Sejarah
Pergerakan
Nasional. Jakarta: PT Gramedia
Sondarika,
Wulan. 2015. Dampak Tanam Paksa bagi
Masyarakat Indonesia,
(Online),
Sudirman,
Adi. 2014. Sejarah Lengkap Indonesia.
Yogyakarta: Diva Press.
Wahyudin,
Dedy. 2015. Sejarah dan Latar Belakang
Tanam Paksa, (Online),
paksa.html),
di akses tanggal 3 Februari 2016
Zulkarnain.
2010. Sejarah Sosial Ekonomi, (Online),
%20M.Pd./Materi%20Diskusi%20Sej.Sosek_.pdf),
di akses tanggal 3
Februari 2016
________.
2014. Sejarah Kopi di Indonesia, (Online),
akses tanggal 4 Februari 2016
izin copy
BalasHapus